Scroll untuk baca Berita

Pasang Iklan, Advertorial dan Kirim Release, klik disini
Daerah

Pengolahan Sampah di Tangerang Selatan: Saatnya Mengubah Mindset dari Masalah Menjadi Potensi

3
×

Pengolahan Sampah di Tangerang Selatan: Saatnya Mengubah Mindset dari Masalah Menjadi Potensi

Sebarkan artikel ini

Oleh: A. Ghozali Mukti, Pemimpin Umum detak.co.id (detak grup)

detaktangsel.com TANGSEL – Persoalan sampah di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) bukanlah isu baru. Namun, hingga kini penanganannya masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.

Setiap hari, ribuan ton sampah dihasilkan dari aktivitas rumah tangga, perkantoran, hingga pusat perbelanjaan.

Sayangnya, pola penanganan sampah masih didominasi sistem kumpul-angkut-buang, tanpa pengolahan serius yang mampu mengurangi timbunan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang.

Padahal, pengalaman sejumlah komunitas pengelola sampah di Tangsel menunjukkan bahwa persoalan ini sebenarnya bisa diatasi, jika ada keseriusan dan kemauan untuk bergerak.

Biaya Operasional dan Partisipasi Masyarakat

Dalam operasional pengelolaan sampah, faktor biaya menjadi tantangan utama.

Dengan kontribusi masyarakat yang masih rendah—kurang dari Rp40 ribu per kepala keluarga (KK) per bulan—sulit bagi pengelola untuk menutup biaya angkutan, perawatan armada, hingga upah petugas.

Beban kerja petugas sampah tidak hanya soal mengangkut, tetapi juga menyangkut kesehatan, keselamatan kerja, hingga keberlangsungan hidup mereka.

Fakta di lapangan menunjukkan, banyak petugas justru lebih memilih pekerjaan ini karena jam kerja lebih fleksibel dan penghasilan tambahan masih bisa didapat dari aktivitas lain.

Namun, tanpa dukungan pembiayaan yang layak, keberlanjutan pengolahan sampah akan terhambat.

Mindset “Sampah Itu Bau” Harus Diubah

Salah satu kendala terbesar dalam mengembangkan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) adalah stigma masyarakat yang menolak keberadaan fasilitas pengolahan di lingkungannya.

Mindset bahwa “sampah itu bau” kerap menjadi alasan penolakan. Padahal, dengan teknologi dan manajemen yang baik, sampah dapat diolah tanpa menimbulkan polusi.

Contohnya, pengalaman di sejumlah titik pengolahan berbasis masyarakat di Tangsel menunjukkan hasil positif. Sampah organik bisa dijadikan kompos, sementara sampah plastik diolah menjadi batako ramah lingkungan.

Beberapa inisiatif bahkan mendapat dukungan dari lembaga internasional, termasuk Jepang, yang memberikan bantuan peralatan setelah melihat keseriusan pengelolaan di lapangan.

Pemerintah Harus Turun Tangan

Pemerintah Kota Tangsel sebenarnya tidak kekurangan anggaran untuk mendukung pengelolaan sampah.

Jika pemerintah berani mengalokasikan puluhan miliar untuk pembangunan rumah sakit dengan fasilitas tipe C, seharusnya alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah juga tidak menjadi masalah.

Sampah bukan sekadar urusan kebersihan, melainkan juga soal kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup.

Dukungan nyata pemerintah bisa berupa subsidi operasional, penyediaan infrastruktur TPS 3R, hingga pengadaan teknologi pengolahan sampah modern yang ramah lingkungan.

Dari Masalah Menjadi Potensi Ekonomi

Jika dikelola dengan baik, sampah justru bisa menjadi sumber ekonomi baru. Plastik bisa diolah menjadi produk bangunan, organik menjadi pupuk, dan bahkan ada potensi energi terbarukan dari gas metana.
Namun, kuncinya ada pada keseriusan pengelolaan.

Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus membangun kolaborasi. Jangan hanya mengandalkan pemerintah atau menyerahkan semua kepada petugas lapangan.

Persoalan sampah di Tangerang Selatan tidak sesulit yang dibayangkan, selama ada kemauan untuk berubah.

Mindset masyarakat harus diubah, partisipasi ditingkatkan, dan pemerintah perlu lebih berani mengalokasikan anggaran.
Sampah bukan musibah, melainkan peluang.

Dengan pola pengelolaan yang benar, Tangsel bukan hanya mampu mengatasi persoalan lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi bagi warganya.

(*)