Print this page

Komisi II Minta Pemkot Tangsel Harus Selamatkan Tenaga Honorer yang Terancam Nganggur

Wakil Ketua Komisi ll DPRD Kota Tangsel Shinta W Chairudin. Wakil Ketua Komisi ll DPRD Kota Tangsel Shinta W Chairudin.

detaktangsel.com, TANGSEL - Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah mulai menghapus tenaga honorer yang ditempatkan pada instansi pemerintah pusat maupun daerah. Penggantinya adalah pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang berlaku pada 28 November 2023 tahun depan.

Adanya kebijakan tersebut, nantinya pegawai yang berada di pemerintahan selain Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PPPK, tanpa ada pegawai honorer. Salah satu alasan mengapa jalur ini di tempuh, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, meningkatkan profesionlisme pegawai, sampai dengan masih banyak pejabat yang tetap merekrut tenaga honorer meskipun telah dilarang.

Namun alasan yang pasti adalah adanya kelemahan pemerintah dalam mengelola tenaga honorer sehingga membebani APBN dan APBD yang tidak sebanding dengan tingkat profesionalisme tenaga kerja.

Melihat kebijakan itu, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Tangsel Shinta W. Chairudin mengatakan, konsekuensi dari penghapusan tenaga honorer ini di khawatirkan akan menciptakan banyak pengangguran.

Shinta mengungkapkan, Kota Tangsel dengan jumlah tenaga honorer sekitar 8.000 orang, berdasarkan persentase jumlah tenaga honor bidang administrasi. Maka Kota Tangsel berpotensi terciptanya banyak pengganguran.

“Potensi ini timbul akibat dari kebijakan PPPK yang sepenuhnya di bawah kewenangan pemerintah pusat. Sebagaimana dinyatakan Kemenpan Reformasi Birokrasi, dari total tenaga honorer tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan organisasi. Padahal di sisi lain Kota Tangsel membutuhkan tenaga honorer sampai dengan 11.000 orang,” kata Shinta di DPRD Tangsel, Senin (13/6/2022).

Shinta mengatakan, potensi penambahan jumlah pengangguran tersbut bisa saja terjadi akibat dari proses rekrutmen yang mensyaratkan sama hal nya dengan perekrutan PNS. Meskipun tenaga PPPK diambil dari tenaga hononer dengan persyaratan tertentu, namun memiliki potensi tidak lulus tes.

Kebutuhan PPPK berdasarkan pada kebutuhan instansi dan persetujuan pusat, maka berpotensi adanya perampingan organisasi yang mengakibatkan kebutuhan tenaga PPPK menjadi sedikit.

"Pada sisi lain, meskipun memiliki upah yang layak dan adanya tunjangan dibandingkan dengan tenaga honorer, tenaga PPPK dikontrak minimal satu tahun menimbulkan ketidakpastian nasib tenaga PPPK akan masa depannya, meskipun dapat diperpanjang,” ujarnya.

Shinta bilang, semestinya Pemkot Tangsel sudah melakukan pemetaan kebutuhan kepegawaian, termasuk memetakan kompetensi pegawaan honorer. Dan memastikan kebutuhan tenaga PPPK sejumlah tenaga honorer saat ini. Termasuk memastikan bahwa tenaga honorer yang ikut pencalonan menjadi tenaga PPPK lolos seleksi, misalnya melalui pembekalan pra tes.

Selain itu, kata Shinta, tugas Pemkot yang lainnya adalah mengantisipasi apabila tenaga honorer yang eksis tidak menjadi tenaga PPPK akibat tidak lolos tes, karena otomatis akan menjadi pengangguran. Pemda harus memiliki data yang pasti terkait tenaga honorer yang tidak bisa menjadi PPPK, agar dapat dilakukan kebijakan penanganan dengan mudah dan tepat agar tidak menjadi pengangguran.

"Kebijakan yang perlu dilakukan adalah penyediaan lapangan pekerjaan dan peningkatan kompetensi tenaga kerja. Agar bisa diserap oleh dunia usaha atau bekerja secara mandiri,” jelas Shinta.

Bahkan Shinta mengatakan, semestinya Pemkot Tangsel sudah mengantisipasi dan telah memiliki strategi dalam menyikapi kebijakan tersebut. Karena sesungguhnya, kebijakan itu merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN melalui Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.

“Artinya Pemkot Tangsel ini sebenarnya memiliki waktu lima tahun untuk menjadikan tenaga honorer menjadi PPPK, semenjak Peraturan Pemerintah itu terbit. Semestinya juga sudah tertuang dalam RPJMD dan RKPD sehingga tenaga honorer dapat diselamatkan dari pemutusan kerja agar tidak menjadi pengangguran,” bebernya.

Namun sampai saat ini, Shinta sebutkan, Pemkot belum memiliki kepastian kebijakan dalam merespon kebijakan peralihan dari tenaga honorer ke tenaga PPPK. Dia bilang, upaya pembukaan lapangan usaha melalui pencarian investor dan peningkatan ekonomi kreatif, merupakan langkah yang cukup baik dalam meminimalisir pengangguran dari tenaga honorer.

“Namun tidak cukup karena setiap pegawai memiliki kapasitas, kompetensi, pendidikan, dan usia yang berbeda yang memungkinkan semua pegawai tidak dapat diserap. Oleh karena itu pemetaan kualifikasi dan kompetensi serta peningkatan soft skill dan hard skill mutlak diperlukan,” pugkasnya.