Dinasti Ratu Atut Lahirkan Ekonomi Rente
Dari Kiri : Ratu Atut,Tubagus Chaeri wardana dan Ratu Tatu.(fhoto by net)
JAKARTA- Politik dinasti dinilai hanya melanggar norma dan etika dalam berpolitik. Selain itu, khususnya di Banten, politik dinasti Ratu Atut hanya menumbuhkan ekonomi rente yang didukung premanisme. “Jadi, dinasti ratu Atut melahirkan ekonomi rente ekonomi struktural, yang didukung paket premanisme, dan itu sudah dibangun sejak Orde Baru, ketika alm. Hasan Shohib menjadi jawara Banten,” kata Pengamat politik dari Universitas Mathlaul Anwar, Banten, Ali Nurdin di Jakarta, Senin,(21/10).
Padahal, kata Ali, sebelum para jawara ini pernah menolak dibentuknya provinsi Banten, karena sudah mendapat banyak proyek dari Jawa Barat. “Mereka sudah asyik mendapatkan banyak proyek dari Propinsi Jabar,” ungkapnya.
Namun demikian lanjut Ali Nurdin, jawara itu sebenarnya tidak identik dengan premanisme, karena ada yang digunakan untuk berjuang membela tanah air, khususnya Banten. Tapi, meski sempat menolak pembentukan Banten, Hasan Shohib kemudian mendukung dengan catatan asal wakilnya Ratu Atut Chosiyah. “Pemilihan pun berlangsung oleh DPRD, yang diwarnai intimidasi. Di mana rumah anggota DPRD sebelum pemilihan dikepung oleh preman, dan terpilih Djoko Munandar yang berpasangan dengan Ratu Atut,” ujarnya.
Pada periode selanjutnya 2005 sampai sekarang di mana Ratu Atut sebagai Gubernur Banten, menurut Ali Nurdin yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Hasan Shohib, yang mengendalikan seluruh kebijakan untuk Banten, sampai meninggalnya pada Desember 2012. “Tapi, mulai 2009 pengendalian Banten diserahkan ke Tb. Chaery Wardhana (Wawan),” tambahnya.
Sejak Ratu Atut gubernur Banten, terjadi rotasi jabatan merupakan hal yang biasa, apalagi mereka yang tidak loyal, maka besoknya bisa langsung dicopot atau dirotasi dengan yang loyal pada Ratu Atut. Juga bisnis proyek sebagai sumber ekonomi, konsolidasi parpol dan ormas. “Semuanya untuk membangun dinasti, ekonomi rente yang didukung premanisme,” ungkapnya.
Dalam temuan sementara ini katanya, bukan saja dalam kasus penyuapan Pilkada Lebak, melainkan terkait dana hibah Rp 1,1 triliun, dan sekitar Rp 350 miliar dana Bansos yang terindikasi terjadi penyimpangan oleh BPK RI. Sementara kelas menengah Banten mengambil jarak ketika Provinsi Banten terbentuk, dan gagal mengawal ketika Ratu Atut memimpin dengan APBD Rp 5 triliun per tahun. “Jadi, tidak terjadi konsolidasi kelas menangah di Banten,” pungkasnya. **cea
Tags:
Published in: PHK