Print this page

RUU Perdagangan Masih Berbau Neolib

noerJAKARTA- Konsep dan naskah akademik RUU Perdagangan dinilai tidak sesuai dengan Konstitusi. Sehingga harus ditolak, karena membahayakan ekonomi nasional. "Banyak yang bertentangan dengan konstitusi, dan lebih membicarakan ketahanan  ekonomi.
Bahkan cenderung menggadaikan kedaulatan ekonomi Indonesia," kata pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi "RUU Perdagangan" di Jakarta, Selasa,(22/10).

Malah Noorsy mencurigai konsep utama RUU Perdagangan ini lebih tunduk pada World Trade Organization (WTO). "Dilihat dari naskah akademiknya, jelas RUU ini sangat neolib, termasuk framenya, maka hasilnya sudah pasti neolib," terangnya.

Lihat saja, kata Noorsy, dalam pasal 5 naskah akademik RUU ini dijelaskan bahwa sedikitnya  ada 29 UU yang berkaitan. "Artinya, disini pemerintah hanya melihat pandangannya sebagai single variabel. Padahal, banyak sekali yang perlu dibedah rumusannya," ujarnya.

Selain itu, sambung Noorsy, RUU Perdagangan ini juga menguntungkan asing dari sistem pembayaran. Karena RUU ini lebih banyak dilakukan dalam sistem elektronik. "Contohnya, sistem pembayaran yang banyak dipakai masyarakat melalui kartu Visa dan Master. Itukan transaksinya ke luar negeri dulu, baru setelah itu masuk ke Indonesia," tuturnya.
 
Makanya, kata Noorsy lagi, RUU ini tidak mengadopsi sistem pembayaran berbasis nasional. Namun kalau RUU ini pada akhirnya lolos, dalam pendekatan globalisme, jelas bangsa ini akan terjerat. 

Noorsy mendesak DPR agar mengembalikan RUU ini kepada pemerintah. "Kembalikan kepada pemerintah," tegasnya sambil menyarakan agar DPR bisa mendoronf BPK untuk melakukan audit semua perjanjian perdagangan luar negeri. "Dengan audit perjanjian perdagangan ini, maka kita bisa menentukan dimana posisi kita sesungguhnya di APEC," ungkapnya.