Print this page

TANGSEL, LADANG BIROKRAT CIPASERA?

TANGSEL, LADANG BIROKRAT CIPASERA?

Oleh: Fachruddin Zuhri*

Tangsel acap disebut "bayi ajaib" karena; Pertama, proses kelahirannya relatif "tak berdarah-darah, tak menelan biaya luar biasa". Kedua,pertumbuhan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)-nya linier, tahun 2009 hanya Rp. 800 milyar, melejit menjadi Rp. 2.3 triliun, di tahun 2014. Ketiga,dikatakan ajaib, atau lebih tepat dikatakan "aneh tapi nyata", karena, skala prioritas pembangunan yang dirindukan penggiat pemekaran; infrastruktur jalan, pendidikan dan kesehatan, belum sesuai harapan.

Diketahui bersama, bahwa 80% APBD dialokasikan untuk belanja pegawai, pun demikian, birokrat umumnya mengatakan, bahwa 40% APBD dialokasikan untuk masyarakat, dalam bentuk pembangunan, tingkat kebenarannya, hanya pihak berwenang yang paham.

Masyarakat awam dan termasuk penulis, sulit memahami, jika APBD begitu besar, tak terasa langsung sesuai harapan, batang jalan utama yang rusak parah se-akan tak terlihat dan tak terasa oleh Walikota dan jajaran, tanpa bermaksud mengabaikan capaian pembangunan di sektor lain. Tetapi saat meniti jalan utama yang masih bak kubangan kerbau, di jantung kota, sungguh terasa sesak dada ini, kadang timbul pertanyaan, dimana kecerdasan intelektual dan kepekaan spritual "qolbu" pemimpin kami.

Pejabat Pemkot Tangsel, acap berdalih, itu kan tanggung jawab provinsi, kita tak punya otoritas langsung, sebagai penggiat pemekaran, dan penulis yakini, banyak pihak sependapat bahwa; patut dipertanyakan, dimana kreatifitas dan kecerdasn lobby petinggi Tangsel ?, terutama birokrat migran "dropping" dari provinsi Banten.

Apakah yang dikirim ke Tangsel ini birokrat KW tiga ?, atau ada yang KW 1 tapi dengan tugas khusus ?. Hemat penulis, tak sepantasnya pemerintah provinsi Banten, hanya menempatkan PNS-nya dalam jabatan strategis, semata untuk menguras APBD Tangsel, tak peka, tuntutan masyarakat kultural lokal, yang ingin segera dapat menikmati "kemerdakaan-nya pasca berpisah dari kabupaten induk Tangerang".

Pendidikan gratis, masih sebatas "menggugurkan kewajiban" untuk memaknai penggal kata CERDAS, yang merupakan filosofi Tangsel "cerdas modern religius". Fakta membuktikan, murid SD Negeri masih diminta membayar berbagai pungutan, mulai pendaftaran masuk, hingga pembelian buku, dan lain-lainnya, hampir setiap bulan, ada saja pungutan yang harus dibayar oranguta murid, berbagai dalih dan cara dipakai pihak sekolah, untuk melegalisasi macam-macam pungutan tersebut.

Kesehatan gratis, hanya dengan E-KTP warga Tangsel dapat menikmati pelayanan kesehatan gratis ?, masih jauh api dipanggang, kami pernah mendapatkan laporan langsung dari warga, hahwa: RSUD Tangsel suatu hari terpaksa menerima kekerasan verbal "perdebatan sengit", karena pelayanan lamban yang patut diduga ada unsur kesengajaan, karena oknum pelayan tersebut meminta biaya dari keluarga pasien, dalam kesempatan berbeda, petugas mengatakan tak tersedia kamar untuk rawat inap, tapi setelah pihak pasien minta bantuan anggota legislatif parpol tertentu, diketahui masih ada beberapa kamar inap kosong, pelayanan yang seharusnya mengedepankan kemanusiaan, dan mengharamkan membedakan strata sosial, faktanya kontradiktif.

Dari sekelumit fakta di atas, tak berlebihan jika ada sebagian masyarakat kultural Tangsel mengatakan; Tangsel hari ini, dipimpin dan dikendalikan oleh orang-orang CIPASERA, Ci=cilegon, pa=pandeglang, e=lebak, sera=Serang, PNS/birokrat CIPASERA versi baru ini, umumnya menempati jabatan strategis, tak berlebihan jika ada dugaan, merekalah penikmat 80% APBD Tangsel, lebih memprihatinkan lagi, libur panjang akhir pekan "long week end", hari Jum'at-Sabtu-Minggu, mereka tidak di Tangsel.

Birokrat terhormat terebut, umumnya kembali ke kediamannya masing-masing, tentu dengan sangu cukup tebal, Tangsel bagi mereka, sebatas ladang, tempat bercocok tanam berbagai varian palawija, petik panen-nya, mereka nikmati di rumahnya masing-masing, di CIPASERA versi baru.

Wisata kuliner, sektor usaha kecil menengah (UKM), pedagang kaki lima, mie tok-tok keliling, satuan pangamanan (SATPAM), pekerja rumah tangga (PRT), warung indo mie rebus. warung rokok di perumahan, dan sejenisnya di Tangsel, tak mendapatkan apa-apa, mereka sebatas kebagian membersihkan sampah rumah tangga, menjadi penjaga rumah yang ditinggalkan, dan semacamnya.

Durasi lima tahun per-tanggal 24 Januari 2009, rentang yang cukup untuk memahami secara jenih dan komprehensif, apakah kondisi demikian, yang kita cita-citakan ? bukankah ruh otonomi daerah pemberdyaan potensi lokal (alam dan sumberdaya manusia).

Sahabat seperjuangan dari kamar FORMATS dan kamar CIPASERA, hemat penulis, saatnya kita menentukan sikap, untuk tak lagi dipimpin birokrat dan politisi (walikota/wakil walikota) migran ?. Saatnya putera kultural lokal yang terbaik diberikan kesempatan tampil ke depan ambil tongkat komando, ini saatnya, atau selamanya tak akan pernah kebagian menjadi tuan ruamah di rumahnya sendiri, pakar Manajemen Rainal Kasali mengakatakan; "change now, or losess".

* Eksponen CIPASERA, dan Tim Perumus Logo Tangsel.