Seri Cerita Rakyat Pamulang "Ki Rebo" (Pemimpin Bijaksana yang disegani Rakyatnya)

Seri Cerita Rakyat Pamulang "Ki Rebo" (Pemimpin Bijaksana yang disegani Rakyatnya)

Detaktangsel.com, OPINI -- Pada zaman dahulu ketika pemerintahan VOC baru saja berakhir dan digantikan dengan Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1799. Terjadi kekacauan yang luar biasa di wilayah Batavia dan sekitarnya. Hal itu dipicu oleh maraknya kasus korupsi dan hutang negara yang cukup banyak ditinggalkan oleh pegawai-pegawai VOC. Dan untuk menutupi kekosongan kas negara yang demikian besar jumlahnya, pada tahun 1808 Perancis yang kala itu baru saja menaklukan Belanda, melalui Rajanya Napoleon Boneparte menunjuk Deandels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tujuannya adalah tak lain untuk menutupi kekosongan kas negara dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang memberatkan rakyat.

Rakyat dipaksa untuk menyerahkan sebagian hasil buminya sebagai pajak (contingenten) dan aturan penjualan paksa hasil bumi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Rakyat juga dipaksa untuk menjual tanahnya kepada orang-orang kaya serta tuan-tuan tanah sehingga banyak tanah yang ada di wilayah Depok, Pemulang dan Tangerang menjadi tanah partikelir (milik swasta). Belum lagi rakyat dipaksa kerja keras untuk membangun jalan-jalan infrakstruktur serta menanam kopi di lahan-lahan milik pemerintah dengan upah yang sangat sedikit. Hal ini membuat kekacauan yang sangat luar biasa di tengah masyarakat. Banyak rakyat yang mati kelaparan. Banyak pula rakyat yang beralih profesi dari yang semula bekerja sebagai petani menjadi perampok dan jawara-jawara sewaan tuan-tuan tanah.

Akan halnya di sebuah dusun kecil pinggiran Distrik Paroong yakni Pemulang. Tersebutlah seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani masyarakat sekitanya. Syahdan menurut cerita orang-orang beliau adalah salah seorang pembesar dari Banten yang datang ke Pemulang untuk sebuah tugas mulia.

Ki Rebo. Adalah nama yg sangat disegani masyarakat Pemulang dan sekitarnya saat itu. Keahliannya dalam ilmu kanuragan tak bisa diragukan lagi. Banyak para perampok dan orang-orang bayaran Tuan Tanah tak berkutik di hadapannya jika terjadi perkalahian dengannya. Bukan hanya itu saja, para begal yang sering merampok para musafir yang hendak melakukan perjalan dari Batavia ke Buitenzorg menuju gunung Salak takluk di tangannya. Bahkan seorang pimpinan gembong rampok yang sangat disegani orang banyak saat itupun bertekuk lutut dihadapannya.

Ketenaran namanya tersebut membuat Regent Paroong yang berkuasa saat itu mengangkatnya sebagai Bek Kampung (hoofdman) Pemulang. Tugasnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menarik pajak masyarakat yang kemudian diserahkan kepada pemerintah. Namun penarikan pajak yang dilakukakan oleh Ki Rebo kali ini berbeda akan halnya Bek-Bek kampung lainnya yang terkenal suka menindas rakyatnya. Penarikan pajak yang dilakukan olehnya dengan cara yang sangat bijaksana. Hanya tanah-tanah partikelir dan rakyat yang memiliki lahan yang luas saja yang dikenakan pajak pemerintah. Sementara yang memiliki lahannya kecil cuma diwajibkan menyetor sebagian hasil buminya ke lumbung dusun untuk kepentingan warga jika sewaktu-waktu terjadi paceklik di tengah masyarakat dan keperluan sedekah bumi lainnya.

Namun hari-hari belakangan ini hati Ki Rebo menjadi gusar. Padi-padi yang tertimbun di lumbung dusun depan rumahnya semakin hari semakin berkurang. Padahal tidak sedang ada acara sedekah bumi atau pesta rakyat lainnya. Sepertinya ada rampok yang berusaha secara diam-diam menjarah padi-padi tersebut.

Mengantisipasi agar padi tidak terus berkurang, maka Ki Rebo pun mulai waspada. Benar saja. Pada saat malam hari tiba, Ki Rebo mendengar ada langkah kaki orang yang tengah mengendap-endap di sisi lumbung padi. Ia lantas bangun dan mengintip dari balik bilik-bilik dinding bambu rumahnya. Ternyata ada dua orang yang bertopeng sarung mencuri beberapa ikat padi dan membawanya kabur menembus malam. Kejadian itu tidak hanya sekali saja. Bahkan tiap-tiap malam datang pencuri itu terus saja melancarkan aksinya, sehingga menyebakan persediiaan makanan untuk warga semakin menipis.

Akhirnya kesabaran Ki Rebo pun mulai terganggu. Ini harus dihentikan. Jika tidak maka akan merugikan orang banyak. Gumamnya dalam hati. Mulailah pada malam harinya Ki Rebo mengeluarkan aksinya. Diambilnya air dari sumur timba di belakang rumahnya. Lalu kemudian dimasukan ke dalam ember, kemudian dibacakan mantra-mantra sakti. Setelah itu air yang sudah diberi mantra olehnya itu dituangkan ke hampir setiap dinding lumbung-lumbung yang berisi padi di depan rumahnya.

Dan ketika malam hari tiba ke dua orang pencuri tersebut datang kembali melakukan aksi nekatnya. Seperti biasa dengan mengendap-endap mereka mengitari sisi-sisi lumbung untuk menjarah padi yang tersisa. Sementara aksi mereka tersebut dapat dilihat Ki Rebo dari cela-cela bilik rumahnya. Tapi anehnya aksi ke dua orang pencuri tersebut dibiarkan saja oleh Ki Rebo. Padahal jika ingin menyergapnya mungkin bisa saja dilakukan olehnya. Akan tetapi aksi pencuri itu dibiarkan begitu saja. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi Ki Rebo malah tinggal pergi tidur sampai subuh menjemputnya.

Di sisi lain yang terjadi adalah, pencuri-pencuri itu merasa kegirangan karena merasa aksinya tidak diketahui oleh Ki Rebo. Dengan bekerja sama kedua orang pencuri itu terus menggasak padi-padi yang ada di dalam lumbung sampai isi karung mereka penuh.

Namun yang terjadi kemudian adalah, ketika kedua orang pencuri tersebut hendak turun dari atas lumbung padi itu, alangkah terkejutnya mereka karena yang mereka liat di bawahnya adalah genangan kolam air yang luas menyerupai danau. Mereka sangatlah kebingungan mencari cara untuk turun ke bawahnya. Segala akal mereka gunakan untuk bisa keluar dari kepungan air itu namun sia-sia. Air terus bertambah tinggi. Akhirnya mereka bersepakat untuk melompat ke bawahnya dengan tidak lagi memperdulikan hasil curian mereka. Bagi mereka bagaimana menyelamatkan diri dari air yang terus naik ini jauh lebih penting.

Akan tetapi sudah hampir sejam mereka berenang tapi belum juga mencapai tepian. Mereka terus berenang dan berenang sampai nyaris kehabisan tenaga. Dan bersamaan dengan itu tepukan tangan Ki Rebo di pundak kedua orang pencuri itu menyadarkan mereka.

Hari sudah terang. Subuh baru saja usai. Kedua orang pencuri itu masih terlihat linglung. Mereka bertanya-tanya dalam hati. Kemana air yang begitu banyak tadi. Bukankah tadinya tempat ini digenangi air yang cukup banyak? Kenapa tempat ini terlihat biasa-biasa saja. Kemana perginya air yang begitu banyak tadi? Akhirnya mereka sadar. Jika semua ini adalah bagian dari kesaktian Ki Rebo. Dengan memohon-mohon ampun pada Ki Rebo ke dua orang pencuri tersebut berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Akan halnya Ki Rebo yang baru saja usai melaksanakan shalat subuh itu menawari kedua orang pencuri itu untuk duduk bersama menikmati sarapan pagi. Sambil menikmati kopi dan singkong rebus buatan Nyai Rebo, Ki Rebo membuka percakapan dengan para pencuri itu;

“Apa yang mendorong saudara-saudara ini melakukan pencurian padi-padi di lumbung itu. Bukankah padi-padi itu milik rakyat yang tengah diamanatkan kepada saya untuk kepentingan jika sewaktu-waktu wilayah kita dilanda paceklik?”

“Ampun beribu-ribu ampun, Ki. Kami tidak sanggup menahan lapar. Penarikan pajak yang tinggi dan kerja paksa yang dilakukan pemerintah Belanda membawa masalah di kampung kami. Selain wabah kolera yang masih ada kami juga diserang kelaparan yang dahsyat. Banyak warga kami yang mati karna lapar. Kami mencuri padi-padi ini untuk kami bagikan kembali kepada warga yang menderita kelaparan di kampung kami.” terang salah seorang pencuri.

“Betul, Ki. Kami dari kampung Wetan. Jika tak percaya sudilah kiranya Aki berjalan-jalan di kampung kami. Lihat apa yang terjadi sesungguhnya di kampung kami.” sahut seorangnya lagi dengan wajah memelas.

Mendengar pengakuan dari kedua orang pencuri tersebut, hati Ki Rebo luluh dan iba. Biar bagaimanpun juga mereka adalah warga Pemulang yang mesti diberi perlindungan. Maka seketika itu juga Ki Rebo mengajak kedua orang rampok tersebut menuju dapur rumahnya.

“Ini. Kalian boleh membawa semuanya.” tawar Ki Rebo kepada kedua orang rampok itu dengan menyerahkan tujuh ikat padi yang ada di atas tungku dapur rumahnya.

“Ini adalah hasil panen dari sawahku sendiri. Kalian bisa membawanya pulang untuk kalian bagikan ke warga yang menderita kelaparan di sana. Dan sisanya boleh kalian bawa ke rumah kalian. Tapi saya minta kalian untuk tidak mencuri lagi meskipun alasannya untuk orang miskin. Apapun alasannya mencuri adalah perbuatan yang di larang agama kita.” ucap Ki Rebo dengan penuh bijaksana.

Setelah menerima padi pemberian Ki Rebo para pencuri itu langsung mohon pamit dan kembali dengan ucapan syukur yang tiada henti-hentinya. Sepanjang jalan mereka berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Sementara langit pagi di dusun Pemulang terlihat cerah secerah sinar embun yang memancar dari helai-helai pucuk daun malakama... ***

T A M A T

Gambar Ilustrasi: google.com

"Padepokan Roemah Boemi Pamoelang"
03 Maret 2020

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online