Sepenggal Kisah Kali Angke Yang Banyak Menelan Korban Jiwa di Jaman VOC

Sepenggal Kisah Kali Angke Yang Banyak Menelan Korban Jiwa di Jaman VOC

Detaktangsel.com, OPINI -- Kali Angke adalah nama salah satu kali sodetan yang membelah Ibukota Jakarta melalui Tangerang dan berhulu di Kali Tjidurian Bogor, tepatnya di Kelurahan Menteng dan Cilendek Timur.

Panjang aliran kali ini mencapai 9.125 kilometer (5.670 mi) dan bermuara di Laut Jawa dekat Muara Angke, Jakarta.

Banyak cerita masyarakat seputar asal muasal nama kali yg melintasi daerah Tangsel ini. Seperti Pondok Benda, Ciater, Sarua, Perigi, Pondok Aren sampai ke kawasan Tjileduk Tangerang dan bermuara di Angke.

Mulai dari tempat pembuangan bangkai manusia di jaman Belanda sampai kepada kekejaman serdadu Jepang. Masyarakat menuturinya sembari dibungkus cerita2 mistis lainnya yang membuat kongkow2 semakin nikmat bagi mereka penggemar Uka-Uka.

Tapi tahukan kita cerita Kali Angke yg sesungguhnya?

Tarik napas dalam2...
Dan Wuuusss...

Sebagian ahli sejarah menyebutkan nama kali Angke bermula dari wabah kolera yg melanda Batavia saat itu.

Pemerhati warisan budaya kolonial, Lilie Suratminto mengisahkan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1627 di masa Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen atau JP Coen. Dimana pada tahun tersebut terjadi perang besar  Mataram vs VOC di Batavia 1627 di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyrokokusumo dari Mataram.

Pada masa itu, Batavia sedang dilanda wabah kolera. Sultan Agung memanfaatkan Kali Angke sbg tempat pembuangan pasukan2nya yang terbunuh dan terserang wabah kolera ke Kali Angke. Sehingga banyak bangkai manusia yang mengapung di sepanjang aliran Sungai Angke mulai dari Tangerang sampai ke muara Angke. Akibat banyaknya bangkai manusia yang mengambang di atas kali tersebut maka masyarakat menyebutnya kali tersebut dng Kali Angke.
Angke adl singkatan dari kosa kata Betawi 'Bangke' yang berarti mayat yang telah membusuk.

Namun Sejarawan De Graff menuturkan berdeda. Menurutnya kali Angke berasal dari dialek Hokkian yg berarti Kali Merah.

Jika demikian, timbul pertanyaan: kenapa kali tersebut dikatakan Kali Merah dan diambil dari dialek Hokkian? Juga kenapa kali2 sodetan lainnya sprt Kali Jelitreng, Pesanggaran, Tjiater, Pamulang, Tjiputat dan Pesanggrahan tidak disebut dng Kali Angke? Padahal sama2 bermuara di Angke..?

Note: Paragaraf di bawah ini,
BACAAN KHUSUS ORANG DEWASA. ANAK-ANAK DI BAWAH 18th BUTUH PENDAMPING

Ternyata jika kita merunut dari dialek Hokkian 'Angke' yg berarti Kali Merah, penyebabnya adalah peristiwa kelam berdarah di pagi hari, tepatnya 9 Oktober 1740 yang dikenal dengan istilah, "Geger Pacinan".
Dimana saat itu terjadi pembunuhan besar-besaran warga etnis Tiong Hoa oleh VOC di Tangerang akibat pemberontakan etnis Tiong Hoa yang menuntut pertanggung jawaban pemerintah mengenai ratusan warga Tiong Hoa yang dideportasi ke Srilangka oleh VOC akibat membludaknya jumlah warga Tiong Hoa di Batavia dan Tangerang saat itu.

Entah siapa yang menebar isyu jika warga Tiong Hoa yang di deportasi ke Srilangka tersebut ternyata di di bunuh dan dibuang ke laut. (Amnstrong & Mulliner 2001.hal.32)

Hal ini membuat etnis Tiong Hoa melakukan aksi protes dng membakar sejumlah aset2 penting pemerintah VOC di Tangerang dan Batavia. Bahkan sebagiannya lagi ada yg membekali diri dng sejata untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.
Kekacauan dan keributan tak bisa dihindari.

Demi melihat keributan yg di akibatkan dari pemberontakan etnis Tiong Hoa yang semakin anarkis tersebut, maka pemerintah VOC mengambil langkah yang kejam dan sadis. Yakni menangkap dan membunuh semua warga etnis Tiong Hoa baik laki2, perempuan, anak2, serta orang dewasa tak luput dari aksi keji pemerintah VOC saat itu. Peristiwa ini terjadi di masa Gubernur Jenderal Valckenier.

Mereka mendatangi pemukiman2 etnis Tiong Hoa yang ada di Tangerang, bahkan sampai ke pedalaman omelanden Batavia dan Buitenzorg (Rawa Kalong, Gunung Sindur, Prumpung, Cogrek, bahkan sampai ke Jasinga), lalu membunuhnya dan membuangnya di kali sodetan yang belakangan di kenal dengan Kali Angke.
Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti; ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat.

Alhasil sepanjang aliran kali dari hulu melewati Mookervaat sampai ke muara laut Jawa banjir darah akibat banyaknya bangkai manusia yang dibuang ke kali.
Masyarakat etnis Tiong Hoa lalu kemudian menyebutnya kali tersebut dng 'Kali Angke' (Kali Merah) akibat air kali yang bercampur warna dng darah menjadi merah.

Itulah sebabnya mengapa Kali2 sodetan lainnya yang melintasi wilayah Tangerang dan Tangerang Selatan tdk disebut dengan Kali Angke. Hal itu disebabkan Kali Angke tempat pembuangan bangkai manusia tersebut terletak di sebelah barat wilayah Tangerang dan Tangerang Selatan yang berdampingan langsung dengan pemukiman warga etnis Tiong Hoa. Sehingga Kali sodetan tersebut dinamai dengan sebutan, Kali Angke sesuai dengan lokasi pembantaian warga yang tak begitu jauh dari lokasi kali...

Wallahu a'lam bishawab
Semoga Manfaat

Padepokan Roemah Boemi Pamoelang
21 Agustus 2022

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online