Kelangkaan Prosesi Pernikahan Betawi Tangerang Selatan (Betawi Ora) Tempo Doeloe

Kelangkaan Prosesi Pernikahan Betawi Tangerang Selatan (Betawi Ora) Tempo Doeloe

Detaktangsel.com, OPINI -- Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,supaya kamu tentram kepadanya. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Ruum :21).

Ayat Al Qur’an tersebut kerap dijadikan lampiran sehelai kartu undangan pernikahan. Ini menunjukan betapa sakralnya pernikahan bagi orang yang sudah cukup usia dan telah memiliki kemapanan dalam hidup. Sebuah proses yang harus ditempuh kaum lelaki dan perempuan yang telah dewasa dalam menentukan pilihannya (jodoh) agar terhindar dari perbuatan tercela.

Mengenai tata cara pernikahan masyarakat Betawi Tangerang Selatan jaman dahulu, sudah sangatlah jauh berbeda dengan apa yang kita temui sekarang. Hal ini disebabkan semakin majemuknya kebudayaan masyarakat sehingga sebagian kebudayaan asli tergerus dan nyaris pudar. Belum lagi ditambah biaya perlengkapan pernikahan yang melambung serta langkanya untuk mendapatkan perangkat pernikahan bergaya Betawi asli.

Namun meski demikian, secara garis besar masyarakat Betawi Tangerang Selatan masih mengacu pada kebudayaan Betawi Melayu Pinggiran (Betawi Ora) walau sedikit sudah terkontaminasi budaya Parahiyangan dan Jawa. Maka tidaklah heran jika sedikit demi sedikit kebudayaan lama semakin ditinggal masyarakanya. Kalau toh ada yang bertahan hanyalah mereka yang memiliki kelebihan dalam rejeki dan keluarga besar dari masyarakat Betawi itu sendiri.

Dan untuk menggali kembali kebudayaan tersebut saya ingin mengajak pembaca bernostalgia ke jaman tempo dulu dalam, Kelangkaan Prosesi Pernikahan Betawi Tangerang Selatan (Betawi Ora). Kita mulai dari;

MEMINTA

Prosesi ini dilakukan saat seseorang telah mapan untuk berumah tangga. Biasanya dilakukan terlebih dahulu oleh kaum lelaki. Untuk meminta pihak lelaki mengutus dua orang wakilnya bersilaturahmi ke rumah sang perempuan. Selanjutnya utusan tersebut menanyakan apakah si A sudah siap untuk berumahtangga dan belum dilamar oleh lelaki lain. Jika terjadi kesepakatan maka utusan dari pihak lelaki akan menyerahkan sepotong bujur (kain) sebagai tanda akan datang kembali guna membicarakan hal yang lebih serius.

NANDAIN (Meminang)

Menindak lanjuti dari pertemuan sebelumnya, pihak laki-laki mempersiapkan persyaratan yang akan di bawah pada saat acara peminangan. Dalam acara ini pihak laki-laki biasanya membawa 3 ekor ikan gabus yang berukuran besar (sedikit berbeda dengan kebiasaan masyarakat Betawi Melayu Tengah atau Betawi Kota yang membawa Roti Buaya). Tak lupa pula uang pelangkah saudara, (jika ada saudara tertua yang belum menikah). Pelangkah kampung, (jika melewati kampung lain menuju ke rumah calon wanita), serta tembako, gambir, dan kapur sirih.

Dan sebagian seserahan tersebut nantinya akan dibagi-bagikan pihak perempuan kepada tetangga terdekat sebagai isyarat si A telah dilamar si B.
Dan sebagai timbal balik pula, pihak perempuan membekali rombongan pihak laki-laki berupa 12 tenong bingkisan yang isinya 2 tenong kue Dodol, 2 tenong kue Uli, 2 tenong kue Geplak, 2 tenong kue Wajik, 2 tenong Nasi, serta 2 tenong Ikan Mas. Seserahan pihak perempuan tersebut dibagikan juga ke tetangga kecuali nasi dan ikan. Karena nasi dan ikan nantinya akan digunakan sebagai syareat selamatan pengantin.

Setelah usai proses ini, ada syarat tertentu yang harus dipatuhi kedua bela pihak. Yakni tidak diperkenankan bagi ke dua calon pengantin melakukan hubungan percintaan dengan yang lain. Masa inilah yang kemudian disebut dengan masa 'pingitan.'

BERUNDING (ngakurin waktu)

Dalam adat Betawi Tangerang Selatan tempo doeloe semua hari adalah baik. Hanya saja dalam penempatan hari hajatan kadang dibutuhkan hitung-hitungan agar tidak keliru. Seperti istilah ‘tikar kuning’ atau ‘pisang pugur’ yang mempunyai makna sial. Sistim hitungan pun masih menggunakan cara lama yang mengakar pada kebudayaan Jawa dan Sunda. Hal ini sangat memungkinkan dikarenakan similasi penduduk dengan masyarakat Jawa dan Sunda telah mengakar dalam kultur masyarakat Betawi Tangerang Selatan sejak dahulu. Sebagai contoh dan makna hitungan tersebut kita jumpai pada istilah; sri, lunggu, dunia, lara, pati.

MENGUNDANG (ngajak ngendong)

Jika jaman serkarang kita mengenal kartu undangan sebagai sarana praktis dalam menyampaikan maksud pernikahan, sungguh tak terbayangkan di jaman dahulu, dimana pihak yang memiliki hajat mengutus beberapa orang untuk berkeliling kampung. Mereka terdiri dari kaum pria dan wanita yang sudah berusia lanjut. Biasanya penyampai undangan secara berkelompok dan berpasangan. Mereka berangkat di pagi hari dengan mengenakan tudung lebar yang terbuat dari anyaman bambu/pandan dan kembali hingga petang menjemput. Sungguh tugas mulia yang tidak dijumpai lagi di jaman sekarang dimana orang lebih cenderung menggunakan jasa tukang ojek sebagai penyampai kartu undangan.

Istilah ngajak ngendong sendiri dapat kita jumpai pada petikan komunikasi antara penyampai undangan dengan orang yang akan diundang.

Dengan cara berdiri di depan halaman rumah, si penyampai undangan memberi salam:

“Assalamualakum…no’ gua mau ngajak ngendong nih!”

“Waalaikumssalam. Eh, mpok siapa yang mau keriyaan, mpok? Wah, sedekahan lagi dong.”

“Si Somat.
Si Incum anak semata wayangnya dilamar bocah kampung belor.”

“Alhamdulillah, tadinya sayah rada-rada selempang, empok… apa iya dia bakalan ketemu jodonya tuh anak. Naga-naganya sepi, abisnya anaknya pemalu’an be’eng. Syukurlah kalo dia udah besuka’an sama tuh laki.”

“Iya, jangan lupa bilangin sama laki lu juga ya, kalau si Somat ngajak ngendong ntuh.”

“Insya Allah, mpok!”

Maksud dari kalimat ngajak ngendong tak lain dari mengajak untuk nginap selama tiga hari sebelum pelaksanaan hajatan guna bergotong royong membuat kue dan kebutuhan lainnya.
Sistim penyampaian gambaran di atas umumnya hanya berlaku pada masyarakat Betawi pinggiran, meski terkadang juga masyarakat Betawi perkotaan kerap melakukan hal yang sama.

SESERAHAN (prosesi pernikahan)

Dalam mengarak pengantin laki-laki biasanya didampingi seseorang yang baru saja menikah. Hal ini dimaksudkan untuk memberi petunjuk agar calon pengantin merasa lebih nyaman. Sedang dari segi busana, pengantin laki mengenakan igel, pakaian laiknya habib dengan mengenakan tutup kepala bergaya Hadramaut dan dihiasi kalung kembang. Sedang mempelai wanita mengenakan busana pengantin laiknya pengantin Cina. Memakai gelang, kalung, anting-anting, dan kelat-bau (sejenis gelang yang dikenakan di bahu).

Dalam perjalanan menuju rumah pengantin wanita, rombongan pria diiringi musik tanjidor, rebana, tumpengan kue, serta buah-buahan. Tak ketinggalan barisan pengejek, pesilat, dan barisan pelantun selawatan.

Setibanya di tujuan wakil dari calon pengantin laki melantunkan, yale (salaman yang disertai selawatan). Selanjutnya acara “buka pintu”, dengan mempersiapkan jago silat dan jago pantun. Masyarakat mengistilakan dengan, “palang pintu”. Jago-jago tersebut harus dipersiapkan kedua belah pihak guna uji ketangkasan di depan pintu rumah pengantin wanita. Acara ini tentunya sekadar budaya dan bukan perkelahian sesungguhnya.

Ada bagian yang sakral dan tabu bagi kebiasaan masyarakat dalam prosesi seserahan ini, yakni ketika membuka perangkat seserahan yang terdiri dari, kapur sirih, tembako, gambir, dan sejumlah uang yang ditempatkan dalam satu wadah yang harus tertutup rapat kemudian dibungkus kain. Jika wadah tersebut tidak tertutup, maka akan menimbulkan anggapan bahwa (maaf) sang wanita ‘tidak gadis’ lagi.

Usai prosesi di atas barulah calon pengantin laki menyerahkan seserahan (pepesing) lainnya berupa; dandang yang berisi beras serta duit secukupnya yang juga ditutupi selembar kain yang nantinya kain tersebut akan diserahkan kepada ibu calon pengantin wanita sebagai pertanda keseriusan calon menantu dalam menikahi anak wanitanya Tidak ketinggalan juga pepesing, yang terdiri dari kembang-kembang, kue, sayur, kelapa, kambing (tukon), dll yang akan di tadomin, (dikisahkan keinginan-keinginan calon mempelai wanita semenjak kecil sampai dewasa yang belum terwujud keinginannya).
Nadomin ini biasanya dilantunkan oleh wakil dari pihak laki-laki dengan disertai lantunan selawatan dan syair Melayu. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan ‘ijab qabul’ yang menandakan syahnya hubungan suami isteri.

ARAK-ARAKKAN (ngarak nganten)

Usai semua prosesi dilanjutkan acara ‘ngarak penganten’. Acara ini adalah puncak dari rangkaiyan prosesi pernikahan. Dalam pengarakan, pengantin pria dan wanita diajak mengelilingi kampung. Sang pengantin pria menaiki delman atau sado yang dihiasi pernak pernik. Pengantin wanita duduk di atas tandu menyerupai mesjid kemudian dipanggul empat orang. Sekembali dari arak-arakan kedua penganten duduk bersanding di atas puade, kursi pelaminan yang terbuat dari batang kayu nangka yang dihiasi kertas minyak dan kembang-kembang kertas lainnya.

Demikian sekelumit kisah tantang Kelangkaan Prosesi Pernikahan Betawi Tangerang Selatan tempo doeloe. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan anak cucu kita ke depannya...*

Wallahu a'lam bi shawab

"Padepokan Roemah Boemi"
04 Juli 2022

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online