Dongeng Asal Muasal Nama Desa Pamulang

Dongeng Asal Muasal Nama Desa Pamulang

Detaktangsel.com, OPINI -- Alkisah pada jaman dahulu kala di sebuah dusun kecil di pinggiran kota Batavia, tersebutlah seorang wanita separuh baya yang hidup sebatang kara disebuah gubuk sederhana pinggiran kali Malakama. Masyarakat di sekitar mengenalnya sebagai wanita pencari kayu bakar dan pedagang sayuran di kota yang ulet. Setiap harinya ia selalu menghabiskan waktu untuk rutinitas yang tak biasa dilakukan oleh wanita seusianya. Sebuah keniscayaan tubuh yang renta bagi orang-orang yang sudah sepertinya meski udara dingin kerap memasuki rongga dadanya yang rentan dengan penyakit. Bahkan asmanya adalah teman sejati di malam-malam dingin tanpa suaminya lagi.

Saat pagi yang dingin dan senyap dikala matahari masih terlihat enggan membuka wajahnya, wanita separuh baya itu sudah sibuk merapikan perlengkapannya untuk membelah hutan yang masih terlihat buta. Golok dan arit terselip di sundung. Beberapa menit lagi ia akan menyisiri pematang empang dan setu yang banyak ditumbuhi rumput liar serta semak belukar. Seperti biasa, tujuannya adalah hutan dimana ia menggantungkan hidupnya selama ini. Ranting dan batang kayu pohon yang telah merengas kering baginya adalah emas yang bisa menjanjikan hidupnya. Ia akan mengumpulkan sebanyak mungkin dan sekuat beban di pundaknya lalu mengikatnya di sundung untuk dijualnya di kota esok hari.

Saat hari menjelang siang, wanita itu kembali kerumahnya dengan peluh yang membasah di sekujur tubuhnya. Beban yang terasa berat di pundak ditepisnya dengan senyum kepuasan di wajahnya. Hari ini nasipnya sedang beruntung karena hari tidak hujan. Dengan demikian kualitas kayu bakar yang ia temukan akan lebih mudah dilahap api. Pelanggannya di kota pun pasti akan senang dengan hasil pencarianya hari ini. Gumamnya dalam hati.

Setibanya di rumah wanita itu istirahat sejenak lalu kembali melanjutkan tugas kecilnya, yakni menyirami sayur-sayuran yang tumbuh subur di halaman rumahnya. Sayur-sayurran yang terlihat segar itu telah siap panen. Ia akan memetiknya di sore hari kemudian akan dijualnya bersama kayu bakar di kota.

Keesokan harinya wanita tersebut mengemas semua barang dagangannya pada satu ikatan sundung yang rapih. Sementara di ufuk timur sana matahari baru menyembur dari garis cakrawala pagi. Udara terasa dingin. Kicau burung cerokcok terdengar riuh bersahutan meningkahi pucuk-pucuk muda daun malakama. Kabut kiriman dari gunung Gede yang menyaput dusun yang tenang itu masih menyisahkan bulir-bulir embun keindahan di setiap helai dedaunan. Bak serpihan mutiara warnanya berpendar dalam aneka corak warna pelangi, tertimpa cahaya matahari pagi yang malu-malu.

Beberapa saat kemudian dari kejauhan sayup-sayup terdengar bunyi suara kerincingan kaki kuda. Semakin mendekat suara itu semakin terlihat jelas Mat Ali sang kusir menghentikan sado-nya di pinggiran jalan yang masih berlembab. Di sana sudah terlihat beberapa orang yang siap menggunakan jasa angkutnya. Tak ketinggalan wanita separuh baya itu pun ikut bertumpuk di dalamnya berhimpit dengan yang lainya. Satu-satunya alat transportasi yang melintasi dusun ini hanyalah sado milik Mat Ali. Itu pun hanya dua kali dalam seminggu. Sedang jarak perjalanan yang akan mereka tempuh menuju kota sangatlah jauh. Belum lagi mereka harus menempuh jalan bercadas yang dikelilingi hutan yang rawan akan ancaman begal.

Setelah istirahat sejenak di distrik Tjipoetat meraka melanjutkan perjalanan kembali melewati Kebayuran untuk selanjutnya menuju kota. Setibanya mereka di Glodok, Mat Ali mengarahkan sadonya ke kawasan yang belakangan terkenal dengan sebutan petak 9, dimana tempat tersebut menjadi primadona para pedagang dari berbagai penjuru Batavia. Di tempat ini aktifitas sudah terlihat ramai dipadati pedagang dan pembeli baik itu dari Batavia maupun Buitenzorg dan Meester. Mereka tumpah mengisi setiap bahu jalan dan gang-gang sempit.

Akan halnya wanita separuh baya itu tak mau ketinggalan melebur di tengah hiruk pikuknya para pedagang dan pembeli. Tidak butuh waktu yang lama baginya untuk menghabiskan barang dagangannya. Karena kebetulan kayu bakar dan sayuran yang dijualnya memiliki kualitas yang bagus dan banyak diminati para pembeli. Sehingga tak heran jika banyak yang memesan terlebih dahulu padanya untuk dibawakan kayu bakar dan sayuran.

Wanita itu tidak hanya pandai dalam memilih kualitas kayu bakar dan sayuran yang akan dijualnya saja, namun keramah-tamahannya serta kejujurannya dalam melayani setiap pembeli membuat dirinya banyak disukai orang. Dari sinilah namanya mulai di kenal orang banyak. Di bicarakan disetiap kesempatan. Bahkan sudah mulai banyak pula orang yang ingin mencari tahu di mana asal tinggalnya. Namun ketika ada yang mencoba bertanya padanya mengenai dari mana asalnya, wanita itu selalu menjawab hanya dengan satu kalimat singkat; “ mau mulang…!”

Apakah wanita separuh baya itu gagu? Entahlah. Yang jelas sado Mat Ali sekarang sudah siap membawa kembali wanita tersebut dengan penumpang lainnya menuju dusun kecil di pinggiran kota Batavia.
Demikianlah rutinitas yang dijalani oleh wanita separuh baya itu sejak ditinggal mati suaminya duapuluh tahun yang lalu. Ia memilih hidup sendiri tanpa dikarunia anak. Namun kesendirianya itulah yang membuat dirinya tegar laksana pohon yang tak gentar diterjang angin dan badai.

Tak banyak masyarakat yang mengenali siapa sesungguhnya dirinya dan dari mana asal usulnya. Yang masyarakat tahu ia hanyalah wanita pencari kayu bakar di hutan yang menjual hasilnya di kota.
Namun di balik rutinitasnya sebagai pencari kayu bakar dan penjual sayuran, ternyata wanita itu gemar membantu terhadap sesama juga. Tak jarang dirinya selalu hadir dalam setiap acara-acara perhelatan yang digelar oleh tuan-tuan tanah yang ada di Kedaung. Bahkan di beberapa tempat yang ada di pinggiran Batavia seperti Lengkong Oost, Tjisaak, Paroeng Kuda, Babakan Noord sampai ke distrik Depok dan Pasar Minggoe namanya menjadi terkenal.

Tanpa mengharap pamrih dan imbalan apapun wanita itu selalu ikut bekerjasama dalam menyiapkan makanan yang akan dipersiapkan dalam berbagai perhelatan. Disetiap kesempatan ia selalu mengambil peran. Dari menyediakan kayu bakar sampai menyumbang sayur-sayuran untuk sedekah bumi dan pesta rakyat lainnya ia lakukan demi kepentingan orang banyak. Hal inilah yang kemudian membuka jalan baginya untuk dikenal para petinggi-petinggi di Batavia, Meester Cornelist, Buitnzorgh dan Tangerang.

Banyak masyarakat yang ingin mengenalnya lebih dekat. Mencari tahu siapa namanya dan dari mana asal-usulnya. Namun seperti biasa wanita separuh baya tersebut hanya selalu menjawabnya dengan kalimat yang sudah tak asing dipendengaran masyarakat; “mau mulang…mau mulang…!” Itulah kalimat satu-satunya yang akrab ditutur wanita separuh baya itu ketika setiap orang menanyakan soal dirinya.
Maka tak ayal, didorong oleh rasa penasaran yang berlebihan, maka orang-orang yang berada jauh dari dusun tempat tinggal wanita itu pun mencoba menguntit arah pulang wanita itu ketika dirinya pulang berdagang bahkan sekembali dirinya membantu masyarakat dalam berbagai perhelatan.
Namun alangkah terkejutnya orang-orang ketika mendapati dusun dimana wanita itu tinggal sangatlah asri. Alam yang bersahabat serta udara yang sejuk membuat setiap orang yang melihatnya tak henti-hentinya menaruh takjub. Hamparan air yang membentuk danau-danau kecil, belum lagi tanah yang subur di kelilingi bukit-bukit hijau berembun semakin menambah rasa penasaran yang berlebihan bagi setiap orang yang datang ke dusun wanita separuh baya itu.

Mulailah kemolekan alam itu menjadi buah bibir masyarakat yang tinggal di kota dan daerah pinggiran Batavia lainya. Berbondong-bondong mereka datang ke dusun tersebut hanya untuk sekadar melepas penat dari rutinitasnya di kota. Bahkan bagi sebagian orang yang memiliki uang yang banyak serta budak yang siap dipekerjakan sudah mulai berani mendirikan pondok-pondok peristirahatan mereka. Mereka menyebut tempat baru mereka ini dengan sebutan permadani surga.

Akan halnya wanita separuh baya itu kini telah memasuki usia yang senja. Dirinya tak lagi setangguh dahulu. Setiap harinya ia menghabiskan waktu di atas ranjang bale peninggalan almarhum suaminya dahulu. Kondisi tubuhnya terus melemah seiring usianya yang semakin larut. Banyak warga yang ikut merawatnya. Memasakinya lalu menyuapnya hingga ia tertidur pulas. Secara bergantian warga membantu merawatnya. Semua itu warga lakukan demi membalas budi baik dari wanita tersebut yang gemar membantu sesama ketika ia masih tangguh dahulu.

Namun sayang, takdir berkehendak lain. Wanita yang ulet dan ramah itu menutup usianya ditengah perhatian warga yang sedang bersusah payah menolongnya. Dan untuk mengenang segala kebaikannya, maka warga yang menempati tempat baru mereka itu menyebut namanya dengan nama, Dusun Pemulang.

Kata Pemulang mereka ambil dari kata ‘mulang’ yang selalu diucapkan oleh wanita tersebut ketika orang bertanya soal dirinya. Bahkan masyarakat yang memiliki tempat peristirahatan mereka di tempat baru itu menyebut tempatnya dengan sebutan ‘pemulangan’ yang berarti ‘tempat beristirahat dengan tenang’...

T A M A T

Pesan Moral: Berbuat baik tidak mengenal usia tua ataupun muda, kaya ataupun miskin. Jika kita banyak bersyukur, jujur dan membantu sesama tanpa pamrih maka kelak kita akan diperlakukan dengan baik pula bagi orang banyak. Bahkan jasa2 kita akan tetap dikenang meski kita telah tiada. Semoga kisah nenek Mulang ini memberi pelajaran yg berharga buat diri kita dan anak cucu kita di masa akan datang.

Ilustrasi: Tasman Lubah

"Roemah Boemi"
Pamulang, 29 Desember 2018

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online