Print this page

Cerita Rakyat Pamulang "Ki Sinar Pemulang" (Darah Mataram memerah di langit Pemulang)

Ilustrasi gambar: Agam Pamungkas Ilustrasi gambar: Agam Pamungkas

Detaktangsel.com, OPINI -- Pada zaman pemerintahan Belanda, ketika VOC menguasai hampir seluruh wilayah nusantara, di daerah Pemulang tinggalah sepasang keluarga di pinggiran kali, Rawa Bebek. Aktifitas sang suami sebagai petani, sedangkan istrinya ikut membantu suaminya jika berjualan hasil panen ke, Gunung Putri. Dimana terdapat banyak pekerja kebun yang didatangkan jauh-jauh dari Eropa, Srilangka, Cina, Ambon, Makasar dan Bali oleh tuan-tuan tanah pemilik lahan perkebunan, eigendom verponding.

Jika hasil panen sedang bagus, tak jarang keluarga ini suka berbagi dengan sesama penduduk di sekitarnya. Mereka sangat disenangi warga kampung tersebut. Selain itu, sang suami juga sangat tekun akan ibadah. Sehabis magrib biasanya sang suami mengajari warga mengaji di langgar. Tidak hanya itu saja. Ilmu bela diri dan ilmu pengetahuan lainya diajarinya dengan rendah hati dan cuma-cuma. Sehingga tak heran jika sepasang suami istri ini sangat disegani warga kampung, Pemulang kala itu.

Saat itu keadaan masyarakat di distrik Kebayoran sedang kacau-kacaunya. Banyak warga yang tak mau membayar pajak. Belum lagi ditambah beban pajak yang ditarik oleh Belanda dan Tauke sangat memberatkan. Pencurian dan pembakaran lumbung-lumbung padi terjadi di mana-mana. Hal itu meluas sampai ke distrik Depok dan dusun Pemulang.

Dan hari masih pagi ketika suara derap langkah kaki kuda terdengar memacu di atas tanah basah berpasir. Masyarakat terkejut dibuatnya. Banyak warga yang keluar rumah dan duduk bersila dipinggir jalan, memberi tabik pada tamu yang masih asing di penglihatannya itu.

Dua orang pria berseragam kerajaan, serta beberapa orang prajurit perang terlihat sedang menunggangi kuda dengan pelan memasuki dusun, Pemulang.
Setibanya di pinggiran kali Rawa Bebek, para pasukan itu berhenti lalu mengikat kudanya didekat pohon Malakama. Lelaki tua dan istrinya langsung keluar rumah dan menyambutnya di depan pintu rumah. Dua orang yang terlihat pimpinannya itu langsung bergegas menuju sepasang suami istri yang disegani warga kampung tersebut lalu beruluk tabik;

“Assalamualaikum, Kakang Adipati Sinar Pemulang .”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Dinda Adipati Ukur dan Dinda Adipati Juminah.” sahut lelaki yang ternyata benama, Adipati Sinar Pemulang itu.

”Ayuk, mari silahkan masuk.” tawar Ki Sinar Pemulang sambill mengajaknya duduk di kursi yang ada di depan rumah.
Tak beberapa lama kemudian Nyai Pemulang keluar dengan membawa penganan ringan serta air minum pelepas dahaga.

“Kalau boleh sayah tau, ada kabar apa adinda Adipati jauh-jauh dari Mataram menuju dusun kecil ini. Apakah kalian di utus Kanjeng Suhunan untuk menangkapku dan membawa kembali ke Mataram?” buka Ki Sinar Pemulang dengan napas berat.

“Ah, tidak kanda.” Sahut Adipati Juminah dengan senyum di bibirnya.

“Justru kami berdua ke sini ingin meminta restu kanda. Sudi kiranya kanda memberi ijin kepada kami atas nama Mataram untuk mendirikan loji dan lumbung-lumbung beras bagi pasukan Mataram di dusun ini untuk menggempur, Batavia.”

“Ya, betul kanda.” sambung Adipati Ukur. “Lumbung-lumbung beras kami yang ada di Karawang dan Cirebon berhasil dimusnahkan pasukan VOC dengan menggunakan mata-mata bayaran. Kami berharap, dengan dijadikan Pemulang sebagai basis pertahanan pasukan berkuda dari Mataram, mampu meluluh lantahkan Batavia dari darat.”

Ki Sinar Pemulang merenyitkan dahinya. Wajahnya terlihat sedikit gamang. Berkali-kali ia mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jari telunjuknya. Setelah itu kemudian;

“Apakah adinda-adinda ini sudah mempertimbangkan betul mengenai strategi ini. Kenapa mesti memilih, Pemulang. Bukankah masih banyak daerah Omelanden lain yang lebih dekat dengan Batavia. Condet, misalnya?” tanya Ki Sinar Pemulang dengan tegas.

“Sudah kanda. Sudah. Kami juga sudah melakukan pemetaan dengan cermat. Termasuk juga dengan persiapan logistik kuda-kuda perang kami yang hampir berjumlah 14.000 kuda itu. Karena menurut kami, di Pemulang ini masih terdapat banyak pasokan air melalui danau-danau yang tersedia di sekelilingnya. Belum lagi rumput-rumput untuk pakan ternak yang tumbuh subur dan liar di bibir-bibir danau. Jelas ini sangat menguntungkan pihak kita.” beber Adipati Juminah penuh semangat.

“Masalahnya bukan itu dinda,” sahut Ki Sinar Pemulang kemudian. “Letnan Jacob van der Plaetten masih dipercaya Jendral Coen untuk memimpin pasukanya dalam menghadapi agresi Mataram ini. Ia sangat terlatih dan berpengalaman di Malaka. Keberhasilannya dalam memukul mundur pasukan Mataram tahun lalu di Onrust membuatnya masih dipertahankan Coen sebagai pimpinan perang Batavia. Ingat loh, ini agresi kita yang ke dua setelah pasukan kita mengalami kekalahan di tahun kemarin.” jelas Ki Sinar Pemulang dengan wajah keras.

“Kami tau itu kanda. Makanya kami berdua ini datang ke kanda memohon restu sekaligus sumbang saran apa yang harus kami lakukan. Sebagai mantan panglima perang Mataram, kanda pasti lebih tau banyak mengenai strategi apa yang harus kami lakukan untuk membumi hanguskan Batavia dari darat. Janji VOC kepada Kanjeng Susuhunan Sultan Agung Hanyakrakusumah untuk membantu Mataram menyerang Surabaya, ternyata diingkari mereka. Dan itu membuat Kanjeng Suhunan murka. ” ucap Adipati Ukur menahan geram namun masih terlihat rasa hormat yang terpancar dari raut wajahnya.

Ki Sinar Pemulang menarik napas dalam-dalam. Matanya nanar menghadap langit-langit rumah pagi itu. Berkali-kali ia menarik napasnya dengan berat lalu mengeluarkanya dengan pelan-pelan. Sementara di luar hari makin tinggi. Semua embun yang bergayut di helai-helai daun Malakama tlah menguap ke udara, bercampur dengan suasana hati para utusan dari kerajaan Mataram itu. Lalu dengan suara berat Ki Sinar Pemulang berucap;

“Coba saat itu kakang Adipati Tumenggung Bahureksa dan kakang Pangeran Mandureja mau menuruti saran-saranku. Kita menyerang lewat darat. Jangan lewat laut, karena kekuatan maritim Batavia sangat kuat. Mereka dibantu pasukan dari Banten dan Pulau Onrust. Mungkin kita bisa memenangkan pertempuran di Kasteel Hollandia sebelah tenggara kota Batavia saat itu. Dan yang lebih penting, kita bisa meminimalisir kerugian perang dan korban. Karena saat itu kita memiliki 1000 orang prajurit terlatih, sementara VOC hanya berkekuatan 120 orang pasukan... Ah, tapi sudahlah. Sekarang apa yang bisa saya bantu.” tanya Ki Sinar Pemulang sambil menawarkan makanan yang telah tersaji sejak tadi.

“Begini kakang, jika kakang berkenan, bagaiman jika rumah kakang kami jadikan tempat penyimpanan logistik bahan makanan pasukan Mataram. Kami percaya ketokohan kakang di kampung ini akan membuat warga berpikir dua kali untuk menjarah perbekalan kami, seperti yang terjadi di Karawang dan Cirebon tahun lalu.” jelas Adipati Juminah.

“Lalu, bagaimana dengan logistik perang dan pasukan berkuda yang jumlahnya begitu banyak. Akan kalian tempatkan dimana mereka semua?”

“Kami memilih daerah pinggiran danau dekat Bamboe Apooust untuk menempatkan pasukan berkuda kami. Sementara sisanya berjaga-jaga di tapal batas Tjipoetat dan Gintoeng.”ungkap Adipati Juminah sambil menenggak segelas air minum suguhan Nyai Pemulang.

“Bagaimana kakang, apakah kakang setuju dengan ide dari kami?” lanjut Adipati Juminah kemudian.

Setelah berpikir beberapa saat, Ki Sinar Pemulang berdiri lalu masuk ke dalam rumah dan kembali dengan membawa gulungan kertas yang ternyata adalah sebuah peta wilayah Karesidenan Batavia, Meester Cornelist dan Buitenzorgh.

“Ini. Ini adalah peta wilayah Batavia dan sekitarnya. Kalian bisa gunakan ini sebagai petunjuk arah dalam pertempuran darat kali ini. Dan ingat. Jangan sampai gagal. Rencanakan dengan matang. Jaga stamina pasukan dengan baik. Di Batavia wabah kolera mulai menyerang warganya. Manfaatkan kesempatan itu. Bawa kabar gembira kepada Kanjeng Susuhunan Sultan Agung di Mataram, jika kalian benar-benar utusannya yang bisa diandalkan agar kalian tidak mengalami nasip naas seperti yang dialami kakang Adipati Tumenggung Bahureksa dan Kakang Pangeran Mandureja.”

Sehabis berucap demikian Ki Sinar Pemulang menyerahkan peta tersebut yang disambut dengan penuh rasa suka cita oleh kedua orang Adipati utasan Mataram tersebut. Tak berapa lama kemudian mereka semuanya berpamitan seiring hari menjelang siang.

****

Situasi Batavia mencekam. Perang berkecamuk dimana-mana. Korban berjatuhan dikedua bela pihak. Di sisi lain wabah kolera mulai menyerang masyarakat. Banyak mayat yang mengapung di atas kali Pesanggarahan dan Tjiliung. Ada yang mati karena perang, ada juga yang mati karena wabah penyakit. Sawah-sawah dan lahan perkebunan rusak diamuk warga. Ada yang mencurinya untuk kebutuhan dapur, ada juga yang menjualnya untuk kepentingan pribadinya. Tak terkecuali pasukan Mataram yang tengah bertempur melawan pasukan VOC di bawah komando Letnan Jacob van der Plaetten.

Berminggu-minggu perang terus berlangsung tanpa henti. Kondisi ini berakibat pada menipisnya kebutuhan logistik makanan di lumbung. Beberapa kali Ki Sinar Pemulang memastikan persediaan padi di lumbung. Masih cukup untuk tiga bulan ke depan. Bisiknya di hati.

Sementara itu di sisi lain pertempuran terus berlanjut antara pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Ukur dan Adipati Juminah. Beragam strategi diterapkan kedua bela pihak. Termasuk memanfaatkan situasi wabah kolera yang banyak merenggut nyawa manusia di Batavia saat itu. Sungai Tjiliwung, Pesanggarahan dan Agke menjadi tempat pembuangan bangkai manusia yang tercemar penyakit kolera. Walhasil terdengar kabar jika Gubernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen menjadi korban akibat wabah tersebut.

Sementara itu dari kawasan teritorial grens Battavia yaitu dusun Pemulang, Ki Sinar Pemulang terlihat gusar menunggu datangnya kabar dari pasukan Mataram. Hari sudah memasuki senja. Belum terdengar kabar pasukan Mataram kembali ke kemahnya di Pemulang. Langit memerah di atas cakrawala senja. Pelan-pelan disaput awan kelabu. Hening. Dan bisu. Sebisu keheningan hati Ki Sinar Pemulang yang terus berharap kembalinya pasukan Mataram. Namun hingga hari mulai gelap tak ada tanda-tanda pasukan kembali. Hingga senja pun jatuh ditelan gelap dan pekatnya malam di langit Pemulang.

T A M A T

“Roemah Boemi”
Pamulang, 16 Agust’ 2019

Oleh : Agam Pamungkas Lubah