Kata 'bale' itu sendiri berasal dari kata 'balai' yang memiliki arti sebuah tempat atau bangunan tempat berkumpulnya orang. (Muhajir. Etimologi Bahasa Lokal. 1976, ibid).
Kata 'balai' pertama kali diperkenalkan penggunaannya di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1841 hingga pertengahan abad 20 oleh Franz Bobb.
Maka tak heran jika penggunaan kata 'balai' erat melekat di masyarakat Indonesia sebagai rumah atau gedung tempat berkumpulnya orang dalam merumuskan berbagai persoalan. Seperti Balai Warga, Balai Kota, Balai Budaya, dll.
Sedang dalam terminologi bahasa, penggunaan kata 'balai' bergantung pada morfologi bahasa daerah masing2. Salah satu contoh di kawasan pinggiran Jakarta yg bersentuhan langsung dengan pengguna bahasa Jawa dan Sunda. Kata 'balai' yang memiliki makna rumah atau gedung tempat berkumpulnya orang banyak, berubah penyebutannya menjadi 'bale'.
Hal ini disebabkan karena dari sudut ciri bahasa yang dinamakan hentian glotis (glotical stop) merupakan ciri khas bahasa daerah yang berada di pinggiran jakarta yg terkontaminasi dengan pengguna bahasa Jawa dan Sunda. Hentian glotis adalah mematikan konsonan akhir pada sebuah kata dan menggantinya dengan tekanan yang dinotasi dengan tanda baca aphostrop ('). Misalnya: 'balai' menjadi 'bale'..'jatuh' menjadi 'jato'..'ziarah' menjadi 'jiara'..dll. (Ridwan Saidih. "Profil orang Betawi, Penerbit. Gunara Kata,1997).
Hal ini tentu akan menjadi rancu jika kata 'bale' itu tanpa dideskripsikan dng alat pendukung visualisasi lainya, seperti gambar dan maknanya. Mengapa demikian? Karena kata 'bale' dalam tutur masyarakat pinggiran jakarta adalah memiliki makna tempat tidur. Yang secara hirarki tata letaknya berada di depan teras sebuah rumah kebaya.
Untuk itulah jika 'balai' yang dimaksudkan adalah tempat berkumpulnya orang, maka kata 'bale' harus disandingkan dng pendukung visuslisasi seperti gambar sebuah rumah atau bangunan.
Wallahu a'lam bishawab
"Padepokan Roemah Boemi Pamulang"
Oleh: Agam Pamungkas Lubah