STOP EKSPLOITASI AIR

ilustrasi ilustrasi

detaktangsel.com LINGKUNGANUndang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa Bumi, Air dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal ini merupakan bentuk ikhtiar para pendiri bangsa untuk menghindarkan upaya eksploitasi kekayaan Indonesia dari tangan-tangan pelaku imperialisme.

Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) Indonesia telah mengalami pergeseran ke arah penguasaaan individualistik. Pergeseran ini berawal dari terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2004 pasal 9 yang menyatakan bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan. UU ini menjadi legalitas atas berdirinya industri-industri swasta untuk mengelola air di Indonesia.

UU Nomor 7/2004 itu terlahir dari rahim Deklarasi The Hague di Belanda. Forum internasional ini memposisikan SDA sebagai komoditas yang bisa dikomersilkan karena melihat peluang ekonomisnya yang sangat tinggi. Saat itu, Indonesia terlibat sebagai peserta yang menandatangani Deklarasi The Hague.

Tingginya kebutuhan masyarakat dunia terhadap air memicu semangat para penanam modal untuk berinvestasi dalam skala besar di Indonesia. Akibatnya, krisis air bersih dan air minum mendera Indonesia hari ini. Salah satu buktinya bisa kita jumpai di Desa Longalo Kabupaten Bonebolango Sulawesi Utara.

Warga setempat harus berjalan sepanjang 800 meter hanya untuk mencari air minum, karena sumber-sumber air bersih di desanya sudah tidak berfungsi lagi.Fenomena seperti ini mengilhami MK untuk mengatur ulang regulasi pengelolaan air. Akhirnya, Pada tanggal 17 September 2014, MK mengeluarkan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan UU Nomor 7/2004 itu.

Sejatinya, air merupakan unsur paling dasar bagi pemenuhan kebutuhan kesehatan fisik dan mental manusia. Tanpa air, manusia akan mati. Kekurangan air, manusia akan cacat fisik dan mental. Oleh karena itu, air seharusnya diposisikan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) bukan komoditas. Sehingga pembatasan atas akses menuju sumber air merupakan pelanggaran HAM. Apalagi sampai terjadi komersialisasi yang mengantarkan kepada ekploitasi air oleh individu. Ini bisa digolongkan pelanggaran HAM berat karena berpotensi melumpuhkan kehidupan manusia di muka bumi.

Jika MK berniat untuk menutup kran eksploitasi air, maka alangkah lebih hebatnya apabila MK tidak hanya membatalkan UU Nomor 7/2004 yang mengancam kehidupan manusia tersebut, akan tetapi jugamelakukan koordinasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) untuk menetapkan air sebagai hak dasar manusia, sehingga tindak eksploitasi air ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.

*Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta dan Aktivis HMI 

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online