Print this page

TERNYATA MASIH BELAJAR DEMOKRASI

TERNYATA MASIH BELAJAR DEMOKRASI

detaktangsel.com- EDITORIAL, Usai sudah Pemilihan Umum Calon Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Namun, masih meninggalkan permasalahan yang cenderung menimbulkan konflik berkepanjangan. Mahkamah Konstitusi (MK) pun memikul beban psikologis politik sangat berat.

Proses persidangan sengketa Pilpres 2014 berlangsung di MK. Sejumlah majelis hakim membedah secara detil persoalan yang menjadi pemicu sengketa Pilpres. Sejumlah saksi pun dihadirkan antara kubu Prabowo dan KPU. Kendati demikian, tidak berarti kubu Jokowi diam seribu bahasa.

Antara kubu Prabowo dan KPU saling merajut strategi. Mereka saling mencari pembenaran di depan majelis hakim MK. Bahasa hukum biasanya diabaikan kecuali bahasa politik. Beginilah drama satu babak di persidangan MK.

Para saksi dan kuasa hukum dari kedua kubu tidak mau mengalah. Mereka berupaya mencari pembenaran untuk mendapatkan keputusan yang berkeadilan. Meski berpengalaman, majelis hakim tetap hati-hati, jernih, cerdas, dan piawai dalam menangani sengketa Pilpres ini.

Berbeda kondisi psikologis politik di masyarakat. Mereka yang rata-rata awam dalam masalah hukum, akan berasumsi dan berpendapat berbeda di ruang persidangan. Masyarakat cenderung mengeluarkan pendapat untuk pembenaran masing-masing bagi kepentingan kubu yang dibela.

Kubu Jokowi tentu akan membela kubu KPU. Makanya, kubu Jokowi tidak tinggal diam alias santai merespons masalah ini. Justeru kubu Jokowi secara psikologis mengalami kegamangan bila kubu Prabowo berhasil memberikan bukti yang kuat atas sengketa Pilpres tersebut.

Ternyata dari balik sengketa politik itu, menunjukkan bahwasannya bangsa Indonesia masih belum memahami hakikat demokrasi yang diaplikasikan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) namanya. Mayoritas masyarakat bertanya-tanya, apakah kubu Jokowi benar curang saat pemungutan suara? Apakah Jokowi memalsukan data pemilih saat pemungutan suara?

Pertanyaan semacam itu lumrah bermunculan di tengah masyarakat, baik masyarakat proprabowo maupun projokowi. Yang jelas, antara kedua kubu dituntut kejujuran untuk mendapatkan legitimasi rakyat. Apakah masing-masing pihak tidak melakukan praktik politik uang saat pemungutan suara? Apakah masyarakat mendiamkan kebenaran yang dilakukan masing-masing pihak dalam upaya menargetkan pemenangan.

Pembuktian salah dan benar di tangan majelis hakim. Hal ini suatu pekerjaan sangat berat. Apalagi kasus yang ditangani konon sarat dengan kecurangan. Tentu tidak gampang bagi majelis hakim mengetok palu untuk memenangkan salah satu kubu.

Dampak keputusan dan ketetapan majelis hakim MK tentu bak pisau bermata dua. Meski telah dianggap berkeadilan, tetap akan menimbulkan dampak sosial politik yang meluas. Ujung-unjungnya akan menimbulkan persoalan baru.

Tugas majelis hakim MK tidak hanya mencitrakan lembaga hukum ini benar-benar menegakkan keadilan. Namun, juga menegakkan supremasi kebenaran dan kepercayaan di mata masyarakat sejak pimpinan MK ditangkap dan diadili karena terlibat kasus menyelesaikan kasus Pilkada Lebak, Banten.

Terpenting lagi adalah keberadaan media massa 'berani' memosisikan diri netral dalam pemberitaan. Jangan sampai memosisikan diri sebagai 'perusak' demokrasi sebagaimana pada saat berlangsung proses Pilpres. Ada pembelaan yang membabi buta. Dengan kata lain, ada lembaga penerbitan suratkabar sampai 'menjual diri' sebagai corong salah satu peserta Pilpres.

Alhasil, rakyat menjadi bodoh dalam mengapresiasi hakikat demokrasi. Pilpres 2014 merupakan bukti nyata bahwa kita masih belajar demokrasi. Selain masih berlaku politik uang, juga sarat proganda dan itimidasi. Sungguh patut disesalkan bahwa Pilpres 2014 termasuk pelaksanaan Pemilu terburuk sepanjang pesta demokrasi sejak negara ini merdeka.