Print this page

Tan Malaka dan Sultan Hamid Alkadrie II

Tan Malaka dan Sultan Hamid Alkadrie II

detaktangsel.com– Dua nama tokoh nasional ini punya andil dan jasa besar terhadap pembentukan negara Indonesia. Tan Malaka dan Sultan Hamid Alkadrie II.


Hanya Tan Malaka, namanya tetap melekat terutama di hati kalangan aktivis pergerakan. Maklum Tan Malaka sangat dikenal sebagai figur pergerakan.
Tidak dengan Sultan asal Pontianak, Kalimantan Barat, tersebut. Ia tidak pernah tercatat, apalagi namanya diingat sepanjang usia republik ini berdiri. Padahal Sultan Hamid adalah penggagas dan pencipta lambang Garuda Pancasila yaitu bintang, kepala banteng, pohon beringin, padi-kapas, dan rantai.


Buah karya Sultan Hamid sangat fenomenal. Namun, nasib tidak sangat fenemenal. Justeru sebaliknya tergerus oleh arus sejarah yang berbelok. Hilang terinjak-injak dan tenggelam ditelan sentimen politik yang sangat kental.
Terlepas siapa Sultan Hamid, itu tidak menjadi masalah. Yang sejarah harus ditulis dan dicatat apa adanya.
Cukup tercenggang juga ketika Februari dijadikan bulan Tan Malaka. Karena tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan aktivitas Tan Malaka yang sefenomenal Sultan Hamid pada Februari.

 

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku 'Bung Hatta Menjawab' untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono menggelar sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin.

Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

 

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu.

Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda. Yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan 'Bhineka Tunggal Ika'.

 

Pada 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan. Karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

 

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai Perdana Menteri.

 

Itulah catatan sejarah yang sengaja ditenggelamkan dari proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya banyak siswa kelahiran Orde Baru hingga saat ini tidak mengerti siapa pencipta lambang Garuda Pancasila. Sungguh naif, sampai anak bangsa tidak tahu sosok Sultan Hamid secara utuh.

 

Sementara nama Tan Malaka seolah terkenang abadi, semata-mata putra Solok, Sumatera Barat itu tidak hanya dikenal tokoh pergerakan, juga pemikir. Ia telah mendirikan sekolah bahasa Inggris di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1942. Begitu mendengar Tokyo kalah dalam peperangan di Asia Pasifik, Tan Malaka pulang ke Tanah Air dan menyamar sebagai kuli rodi di Banten.

 

Hanya, pemikiran Tan Malaka cenderung bernapas sosialis. Makanya, ia dicap komunis. Kendati demikian, namanya tetap harum di hati anak bangsa Indonesia. Hingga direkayasa Februari menjadi bulan Tan Malaka.
Bagaimana dengan Sultan Hamid? Sulit dijelaskan latar belakang Sultan Hamid secara utuh. Untuk memaparkan setengah saja tidak ada data sejarah yang melegalkan. Dengan demikian, sulit dipertanggungjawabkan keabsahan catatan sejarah Sultan Hamid secara akademiki, pilitik maupun moral.

 

Pemerintah tidak seharusnya menghapuskan jejak Sultan Hamid berpijak di karpet merah sejarah bangsa Indonesia. Kalau memang pemerintah anggap Sultan Hamid musuh besar, ganti saja lambang Garuda Pancasila dengan karya Yamin. Sungguh sikap kebanci-bancian pemerintah ini tidak layak diturunkan atau diwariskan kepada anak bangsa yang bebas menilai siapa Sultan Hamid tersebut. (red)