Print this page

Koruptor 'Kebal' Hukum?

Koruptor 'Kebal' Hukum?

detaktangsel.com- EDITORIAL, Aneh bin ajaib. Ungkapan sangat tepat bila dikaitkan dengan kasus hukum yang menjerat Dadang M Epid. Meski Kejaksaan Agung (Kejakgung) telah menetapkan sebagai tersangka, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) ini masih aktif menjalankan tugas sebagai birokrasi. Ada apa di balik 'kebebasan' pejabat pemerintah daerah ini bak bukan tersangka?

Tentu awam bertanya-tanya, apakah hukum di negeri sedemikian rupa. Tebang pilih atau memang ada pejabat yang masih kebal hukum. Pemikiran ini bukan berdasarkan rumor, melainkan suatu fakta. Kendati demikian, aparat terkait terkesan buta menilai permasalahan yang sangat hukum ini.

Petinggi Pemkot Tangsel misalnya, cuek bebek. Tidak ada upaya untuk meluruskan masalah yang sudah meleceng tersebut. Seolah tidak ada tindakan administratif terhadap pejabat bermasalah tersebut.

Konon, Pemkot Tangsel mengaku tidak akan melakukan pendampingan hukum kepada salah satu anak buah Walikota angsel Airin Rachmi Diany itu. Namun, kenapa Kepala Dinas itu bebas dan menjalankan tugas tanpa beban moral.
Bahkan, kabar yang beredar hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas isi dokumen yang menyatakan Dadang sebagai tersangka.

Lucu sekali, keputusan instansi Kejakgung kok tidak diketahui sama sekali. Apakah tidak ada salinan dari sebuah keputusan hukum yang menetapkan pejabat Pemkot Tangsel itu sebagai tersangka ?
Dadang terlibat dugaan kasus korupsi pembangunan Puskesmas dan pembebasan tanah di Tangsel tahun anggaran 2011 dan 2012.
Kejakgung menjerat Dadang dengan Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara Kejari Tigaraksa juga tetapkan Dadang jadi tersangka menyusul dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan dan alat kedokteran. Penetepaan status tersangka dilakukan penyidik sejak 4 Agustus 2014.
Fakta lain menunjukkan
Menurut temuan penyidik, atas kasus hukum yang menjerat Dadang adalah adanya dugaan kerugian negara sebesar Rp1,1 miliar dalam proyek yang bersumber dari APBD Kota Tangsel dan APBN tahun 2010, dengan pagu anggaran senilai Rp10,6 miliar. Adapun jumlah kerugian secara pasti akan dihitung lebih lanjut oleh tim ahli. Sedangkan berdasarkan penghitungan yang dilakukan penyidik adalah sekitar Rp1,1 miliar.

Kepala Seksi Intelijen Kejari Tigaraksa Musa pun sempat mengatakan terbongkarnya kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) dan alat kedokteran (alked) berupa, kursi untuk klinik gigi, analyzer darah, verloz bed, tensi meter dan lainnya. Dan menurutnya, setelah ditemukan adanya indikasi korupsi, maka penanganan kasus itu diserahkan ke pidana khusus (Pidsus) untuk menangani lebih lanjut.

Seperti diketahui, penyelidikan kasus proyek pengadaan Alkes pada Dinas Kesehatan terus dilakukan. KPK sempat sudah memeriksa lima orang pejabat di Dinkes Kota Tangsel. Mereka adalah Kepala Dinkes Dadang M, Epid, Kepala Bidang Promosi Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan (Promkes dan SDK) Dinkes Mamak Jamaksari, Kepala Bidang P2PL Tulus Muladiyono, Staf Dinkes Wawan Darmawan, dan staf UPT Farmasi, Ridwan.

Dus, berangkat dari fakta ketetapan hukum tersebut, tentu tidak ada pembiaran terhadap masalah ini. Terkesan, baik tersangka, petinggi Pemkot Tangsel, maupun aparat terkait Kejari atau Kejakgung, cuek bebek alias masa bodoh dalam mengapreasiasi keputusan hukum tersebut. Sangat tidak mengherankan bila rumor yang beredar menyebutkan, tersangka kebal hukum. Sehingga dia tidak disentuh hukum tetap dan pasti.

Kondisi ini jelas menjadi preseden buruk bagi penegakan supremasi hukum. Seolah hukum tajam di bawah, tumpul di atas. Lalu, bagaimana masyarakat bisa melek hukum jika hakikat keputusan hukum yang menetapkan Dadang sebagai tersangka tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Memang ada dua alasan seseorang tidak ditahan meski berstatus tersangka. Pertama, ada permintaan penundaan penahanan. Kedua, pihak terkait, Kejari dan Kejakgung, tidak memerintahkan penahanan. Jika kedua alasan itu diberlakukan, kenapa banyak pihak termasuk di lingkungan Pemkot Tansel masih bertanya-tanya.

Padahal tidak seharusnya pertanyaan banyak pihak itu mencuat bila ada klarifikasi atau penjelasan dari pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, masalah ini menjadi terang benderang di mata masyarakat.