Print this page

Kontruksi Gender Tersosialisasikan

Kontruksi Gender Tersosialisasikan

detaktangsel.com- EDITORIAL, Dalam banyak bidang secara fisik perempuan Indonesia memang sudah banyak yang memegang peran terpenting atau tertinggi. Secara fungsi, perempuan Indonesia pun sudah banyak menjadi orang yang paling menentukan dalam mengambil keputusan atau kebijakan.

Eksistensinya sangat dihormati, diakui, serta tidak diragukan lagi. Ketika si perempuan itu kembali ke rumah, semuanya menjadi hilang. Bahkan dapat berlaku terbalik.

Boleh jadi secara formal banyak perempuan sudah menyetarakan diri dengan laki-laki. Tetapi pada tataran informal terutama di lingkungan keluarga dan atau sosial kemasyarakatan tertentu, hegemoni patriaki tetap berlaku dengan nilai-nilai sosial – kultural yang dihayati. Sehingga diyakini sebagai pengabdian ideologis.

Suka tidak suka atau dengan kesadaran dan atau tanpa kesadaran nilai-nilai tadi tetap harus dihormati atau dijunjung tinggi. Istilah kesetaraan dan atau perbedaan gender (gender equivalences and or differences) merupakan sebuah persoalan yang dari masa ke masa sepertinya tidak mengenal kata habis.

Adanya jenis manusia yang berlabel laki-laki di satu pihak dan yang berlabel perempuan di lain pihak, merupakan pokok pangkal munculnya persoalan gender yang memiliki garis proses cukup panjang dalam sejarah perjalanan keberadaan manusia itu sendiri.

Label manusia sebagai laki-laki dan atau perempuan itu konsep utamanya hanya karena adanya dua jenis kelamin (sex) dilihat berdasarkan perbedaan alat reproduksi secara biologis yang bersifat kodrati atau sesuai ketentuan Tuhan.

Konsep lainnya adalah gender yaitu perbedaan perilaku (behavioral differences) sebagai suatu ciri atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan. Di mana ciri atau sifat itu sendiri tidak berlaku tetap (permanent) atau bisa berubah.

Juga dapat dipertukarkan antara yang satu dan lainnya sesuai tempat atau ruang, waktu, dan dalam strata masyarakat tertentu yang terbentuk berdasarkan kontruksi sosial dan atau kultural.

Semarak atau hiruk-pikuknya gonjang-ganjing tentang persoalan-persoalan perbedaan gender ini ditengarai dikarenakan banyak hal. Di samping itu, memiliki latar belakang serta tujuannya masing-masing.

Melalui proses panjang, kontruksi gender tersosialisasikan sebagai perbedaan-perbedaan yang akhirnya dianggap seolah-olah menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat biologis, mutlak, dan kodrati. Selanjutnya secara perlahan namun pasti akhirnya kontruksi sosial – kultural gender menghasilkan pembenaran-pembenaran atas kesalahan pemahaman dalam memaknai konsep gender.

Dengan hanya dan seolah harus merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang bersifat mutlak atau kodrati. Tidak mengherankan ketika membicarakan persoalan gender, pertama dan mungkin yang utama kita akan selalu berhadapan dengan konstruksi sosial.
Secara mendasar dan seharusnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi memang terdapat perbedaan antara perempuan dengan laki-laki.

Jika kita melihatnya dari sudut pandang biologis. Demikian pula ketika konsep gender itu dilihat dari wilayah kultural, berbagai persoalan segera bermunculan dengan keanekaragaman dan kekhasannya.

Bagaikan tidak mungkin lagi untuk dapat mendudukkannya secara proporsional. Perbedaan yang bersifat biologis itu seolah-olah harus berlaku pula pada tingkat sosial dan atau kultural, baik dalam hal peran, fungsi, maupun eksistensinya.

Ciri-ciri biologis-kodrati yang membedakan laki-laki dengan perempuan atau antara wanita dan pria, berdampak luas pada kenyataan hidup dan penghidupan. Seakan menjadi sebuah rumus 'kebenaran' dari suatu rekayasa 'pembenaran'.

Sebenarnya selama perbedaan gender itu tidak membuahkan suatu ketidakadilan, perbedaan itu bukanlah merupakan sebuah masalah. Pada kenyataan umumnya perbedaan gender ini menghasilkan ketidakadilan, baik i kaum laki-laki maupun perempuan.

Ketidakadilan yang dilahirkan akibat perbedaan gender ini bersifat kompleks dan tidak dapat dipisahkan satu persatu. Karena saling terkait satu dengan lainnya dan umumnya lebih banyak tertuju kepada kaum perempuan.

Diawali dengan munculnya gerakan feminisme, kaum perempuan secara sistemik dan terbuka mulai meneriakkan tuntutan kesetaraan gender di berbagai tempat dan kesempatan gaung dari genderang protes yang menuntut keadilan atau kesetaraan gender terus dikumandangkan.

Tidak perlu heran jika gerakan-gerakan itu bukan hanya dilakukan para perempuan. Juga banyak direspon yang tidak jarang melibatkan kaum laki-laki. Tentu saja sesuai dengan latar belakang pemahaman dan pemaknaan serta tujuannya masing-masing. (red)