Print this page

Kekeringan Melanda, Biopori Solusinya

Illustrasi Illustrasi

detaktangsel.com EDITORIAL - Bencana kekeringan dan krisis air bersih menjadi topik hangat selama sebulan terakhir ini. Hal ini dipicu oleh berita kekeringan yang terjadi di Bogor, padahal Bogor merupakan daerah yang dikenal dengan curah hujannya yang lebat. Serta kenyataan bahwa Bogor merupakan kawasan yang dipenuhi oleh lahan pepohonan dan hutan yang masih asri. Sejatinya, jika kita melihat dengan kasat mata, maka kita akan berfikir bahwa daerah semacam Bogor mustahil mengalami kekeringan. Tapi kenyataan berkata lain.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) puncak kemarau di Bogor akan berjalan hingga September dan November. Imbasnya, Bogor akan mengalami kekurangan pasokan air bersih untuk kegiatan Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK). Tumbuh-tumbuhan dan tanaman petani pun akan mati. Tentunya, hal ini menuntut kita untuk berfikir kembali, bahwa curah hujan yang lebat dan banyaknya hutan bukanlah garansi untuk terhindar dari kekeringan.

Faktor tanah yang tidak mampu menampung air hujan patut dituduh sebagai salah satu penyebab. Saat hujan turun, air hujan langsung mengalir ke sungai tanpa meresap terlebih dahulu ke dalam tanah. Jika air sudah mengalir ke sungai, maka air akan terkirim ke daerah lain, Jakarta misalnya. Fenomena ini disebut "run off" dalam ilmu pertanahan. Tak jarang, fenomena run off akan menyebabkan kekeringan saat musim kemarau, serta akan menyebabkan banjir saat musim hujan.

Prof. Kamir R Brata, seorang peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan sebuah teknologi alami untuk mengatasi fenomena run off. Teknologi tersebut disebut "Biopori". Berbekal dengan alat manual sederhana, kita hanya cukup membuat lubang pada tanah dengan diameter kira-kira 20 cm dan kedalaman 2 meter. Kemudian lubang tersebut diisi dengan sampah organik rumah tangga, seperti kertas, sayuran, tulang ikan dan lain-lain. Sekitar 20 hari kemudian, sampah organik akan berubah menjadi mikroba yang mampu memperlebar pori-pori tanah. Dengan demikian, tanah menjadi gembur dan mampu menyerap air hujan melebihi sebelumnya.

Teknologi ini semacam torn air alami bawah tanah. Saat musim penghujan, banjir tidak akan terjadi karena air akan ditampung di bawah tanah. Sementara saat musim kemarau, kekeringan tidak akan melanda karena persediaan air di dalam tanah masih ada. Berkat penemuaanya, Kamir R Brata memperoleh penghargaan Kalpataru dari Presiden Joko Widodo dalam kategori pembina lingkungan hidup berprestasi pada Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2015 silam di Istana Bogor.

Ibarat pucuk dicinta, ulam pun tiba. Penemuan ini disambut baik oleh jajaran pemuka masyarakat Kota Bogor. Seperti Hazairin Sitepu (CEO Radar Bogor), Gatut Susanta (Mantan Anggota DPRD Kota Bogor) dan pemuka lainnya. Mereka membentuk gerakan lima juta Biopori yang diawali dari wilayah Bogor. Gerakan ini akan disebarluaskan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, seluruh masyarakat Indonesia harus segera merespon hal ini. Agar negeri kita tercinta terhindar dari bencana kekeringan dan krisis air.

*Penulis adalah Muflih Hidayat Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Galaxy dari UIN Syarif Hidayatullah sekaligus Ketua Umum HMI KOMFUF Cabang Ciputat.