Print this page

Demokrasi Kaum Penjahat

Demokrasi Kaum Penjahat

detaktangsel.com- EDITORIAL, "...Jikalau demokrasi yang terjadi hanya secara formal dalam artian tidak diiringi oleh partisipasi yang sungguh-sungguh dari rakyat, maka hasil yang mungkin terlihat merupakan demokrasi kaum penjahat."

Sepenggal kalimat ini artinya seolah demokrasi sudah menjadi kata sakti dalam panggung kampanye Pemilu. Di mana-mana, orang meneriakkan kata demokrasi sebagai sebuah acuan akan tatanan dan pola organisasi yang baik.

Semua pihak terpikat dengan cita-cita demokrasi di mana kedaulatan rakyat menjadi suatu yang ditinggikan. Namun, kenyataan berkata lain, demokrasi yang diperjuangkan selama ini bergulir tiada hasil. Rakyat tetap menjadi pihak yang mengalami ketidakadilan. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri.

Bahwa sepak terjang para politisi, baik elit partai politik maupun calon anggota legislatif (caleg) berlomba-lomba dan jor-joran memamerkan kekuatan modal untuk menjinakkan calon pemilih (baca: konstituen). Sementara masalah pendidikan politik tentang bagaimana cara terbaik untuk berpartisipasi dalam Pemilu seringkali diabaikan. Terkesan memang demikian adanya sepak terjang elit partai politik dan caleg untuk menggapai singgasana kekuasaan. Tidak peduli lagi, apakah gerakan politik yang dilakukan telah memberikan pendidikan politik bagi rakyat atau tidak. Sungguh sangat naif perilaku politik para elit ini. Mereka nyaris kehilangan kendali ketika berhadapan dengan kondisi rakyat yang mengharapkan peningkatan kesejahteraan. Akhirnya janji-janji manis demokrasi diteriakkan pada masa pemilu hanya berlalu bersama angin kosong saja. Demokrasi hanya dijadikan kedok dan senjata kampiun untuk membuai rakyat.

Banyak pihak yang memanfaatkan demokrasi hanya untuk mengeruk keuntungannya sendiri. Bukti menunjukkan bahwa pemilu menjadi ajang kawanan politisi mengumbar janji-janji demokrasi dengan sibuk mengunjungi dan berdialog dengan rakyat. Tapi, setelah Pemilu usai dan kekuasaan dipegang, kunjungan dan dialog itu juga terhenti.

Jatuhnya demokrasi pada tangan para polisi busuk disebabkan partisipasi rakyat sekadar janji belaka. Seluruh partai dan elit peserta Pemilu 2014 adalah boneka para pemilik modal raksasa internasional yang menjajah ekonomi Indonesia (baca: imperialis), penjahat pelanggar HAM, para koruptor, reformis gadungan yang pengecut dan pembohong, serta para aktivis yang pragmatis dan oportunis.

Sistem pemilu yang mahal dan tidak demokratis hanya memberikan kesempatan pada elit yang berduit untuk maju sebagai peserta Pemilu. Hal ini menghambat kekuatan alternatif yang antipemilik modal. Segelintir caleg yang miskin terpaksa menjual seluruh sumber hidupnya atau menjilat elit politik lain yang bisa memberinya modal. Hasilnya, Pemilu 2014 adalah pemilu paling boros di tengah proses pemiskinan rakyat.

Pemilu 2014 daur ulang kekuatan politik busuk untuk legitimasi kekuasaan. Semua peserta pemilu cuci tangan dari dosanya mengeluarkan berbagai produk UU yang membuat rakyat tambah miskin.

Semua peserta pemilu pernah terlibat dalam kekuasaan masa lalu semakin membuat rakyat sengsara. sedangkan partai politik selama ini masih cenderung terkonsentrasi mengurus partai dan kepentingan kelompoknya sendiri.

Padahal dalam kondisi dan situasi politik seperti sekarang ini anggota masyarakat perlu dibekali dengan berbagai kemampuan berpolitik. Di mana kebebasan, keterbukaan, dan meluasnya demokrasi sudah sepatutnya menjadi bagian dari modal utama partai politik dalam berperan aktif melakukan persambungan dan silaturrahmi politik.

Artinya, partai politik semestinya melakukan program-program pemberdayaan masyarakat di tingkat lokal. Sehingga nampak bahwa partai politik mampu melakukan fungsi penyeimbang dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi ini menimbulkan bahaya politis terhadap kehidupan politik lokal.
Bahkan, seharusnya partai politik melakukan berbagai pendekatan dan mengajak masyarakat untuk secara bersama memikirkan kelangsungan jalannya roda pemerintahan dan pembangunan daerah sejalan dengan napas otonomi daerah.

Padahal mengaktualisasikan kepentingan masyarakat lokal tidak terlepas dari peranan partai politik. Itu sebabnya, rakyat sangat berharap banyak kepada peran partai politik, apalagi sekarang ini rakyat memilih langsung calon anggota legislatif dan presiden.

Partai-partai politik harus melakukan sesuatu untuk rakyat pada ajang pemilu. Mengambil hati rakyat sangat perlu bagi setiap partai politik, karena hal itu merupakan bagian dari pendidikan politik rakyat. Namun, kenapa partai politik dan caleg selalu gagal memberikan pendidikan politik dalam pengertian yang seluas-luasnya.

Sebaliknya rakyat hanya dijadikan 'sapi perahan' dalam mendulang perolehan suara. Hak politik rakyat hanya dihargai puluhan ribu rupiah. Selain itu, diberi sesuatu sebagai pemanis yang tidak mengandung nilai politis dalam arti pendewasaan berdemokrasi.

Sungguh sangat naif perilaku elit politik yang sedemikian rupa. Mereka hanya mampu mengeksploitir kewajiban rakyat (baca: pemilih) semata-mata untuk kepentingan sesaat.

Tidak seharusnya proses politik seperti ini terulang pada setiap pesta demokrasi kalau para elit politik sungguh-sungguh ingin mencerdaskan rakyat dalam berdemokrasi Dalam kondisi yang sedemikian rupa, patut dipertanyakan sejauhmana pemilih memaknai arti demokrasi. Maka tidak ada salahnya bila pemilu dicap sebagai 'demokrasi kaum penjahat'.

Ini adalah sebuah pemikiran atau analis yang menunjukkan bahwa sebenarnya perilaku elit politik tidak ubahnya kawanan penjahat. Alhasil proses politik yang lahir pun merupakan proses 'demokrasi kaum penjahat'.

Untuk menggugurkan pandangan atau analis itu, para elit partai politik dan caleg, mau tidak mau harus mengubah perilakunya. Dan, menempatkan Pemilu sebagai ajang pencerahan, pencerdasan, dan pendewasaan berdemokrasi. Pola mengumbar janji manis kepada rakyat harus diharamkan. Sehingga mimbar kampanye Pemilu akan lebih bermakna bagi rakyat.