Print this page

Anak Bangsa Di Persimpang Jalan

Anak Bangsa Di Persimpang Jalan

detaktangsel.com– Ada tiga berita di salah satu suratkabar nasional sangat menarik ditelaah seksama untuk dibaca. Judul pertama, sumur Soeharto dipercaya bawa berkah kenaikan pangkat pejabat.

Judul kedua, ingin ketularan jadi presiden, calon presiden (capres) ramai ke Memorial Soeharto. Dan judul ketiga,  Pramono Edhie Wibowo menyempatkan diri berziarah ke makam Kiai Marogan,  penyebar Islam di Palembang  pada abad XVIII.

Kehadiran mereka ke makam bukanlah sekadar ziarah dan menyampaikan doa, ada misi khusus yang tidak bisa diteropong kasat mata. Simbol semacam ini mengandung makna sangat dalam dan sangat pribadi dalam kajian spiritual. Dan sah-sah saja sepanjang tidak menyimpang dari aqidah. Namun, pandangan ini belum bisa dikatakan benar seratus persen di hadapan kebanyakan anak bangsa di negeri ini. Karena banyak pendapat tidak menerima simbol-simbol sedekian rupa. Mempercayai sesuatu di luar nalar yang bisa memberikan kemukjizatan tersendiri.  

Entah angin apa yang membawa mereka blusukan ke makam-makam tersebut. Ada kesan kehadiran mereka bersayap. Sayap kiri menggambarkan rasa hormat terhadap mendiang yang dimakamkan di lokasi tersebut. Sayap kanan terkesan sekadar pencitraan terkait pencalonannya. Inilah potret usang yang lama berkembang di tengah-tengah kebanyakan pejabat ketika menginginkan sesuatu, tidak hanya memohon berkah dari Sang Pemilik Kebenaran. Justeru mereka mendatangi guru spiritual untuk mencari jawaban atas keraguan di hati. Apakah Sang Pemilik Kebenaran bersedia, berkenan, merestui, dan meridhoi ambisinya untuk menggapai sesuatu.

Apa sesuatu itu bisa diterjemahkan dalam bentuk berkeinginan dapat jodoh, naik jabatan, suara rakyat mendukungnya menjadi anggota legislati, presiden, dan sebagainya. Pola dan perilaku anak bangsa seperti ini merupakan potret buram, potret kedhuafaan batin, hati, maupun jiwa mereka. Ada Sang Pemilik Kebenaran, kenapa tidak memohon bantuannya. Bisa lewat doa, salat, serta puasa. Anehnya ternyata di negeri ini, penghuni suka memotong kompas. Apa ini mentang-mentang banyak uang atau sudah meragukan sikap welas asih dan asuh Sang Pemilik Kebenaran.

Sungguh menggerikan dan menakutkan. Anak-anak bangsa suka berhubungan dan menutupi kedhuafaan hati, batin, dan jiwanya melalui jalan pintas. Tidak sadarkan mereka telah menjadi manusia munafik? Sudah tahu Sang Pemilik Kebenaran, tidak mengenal istilah pelit, tebang pilih, bengis, dan minta bayaran. Padahal Sang Pemilik Kebenaran juga terkenal arahmannirohim-nya. Kenapa kalangan pejabat ketika dihimpit keraguan memilih  sowan ke guru spiritualnya daripada duduk bersila dalam keadaan berwudlu.

Kebanyakan pejabat ketika menghadapi hajat politik nasional kehilangan akal sehat. Semestinya mereka paham saben menjalani ibadah salat wajib maupun sunnah, telah menyerahkan diri kepada Sang Pemilik Kebenaran.  “....sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku sema-mata hanya untuk Allah.......” dan “.....pada-MU-lah hamba mengabdi (menyembah) dan kepada-MU-lah hamba memohon pertolongan......” dan “.....tunjukkan hamba ke jalan yang lurus bagaikan jalannya orang-orang yang Allah beri nikmat.....”.   

Jelas, hakikat penggalan ayat-ayat suci itu tersirat dan tersurat mengandung penyerahan diri secara total kepada Sang Pemilik Kebenaran. Tidak ada kompromi dan alasan apa pun untuk menggugurkan perjanjian kita, anak bangsa, kepada Allah. Lantas, kenapa kok masih banyak anak bangsa lari ke guru spiritual dan melarikan sekaligus menjauhkan diri dari Sang Pemilik Kebenaran.
Innalillahi wa innalillahi roji’un, lafal ini pantas disematkan di hati, batin, dan jiwa anak bangsa yang telah berada serta berdiri tegak di persimpangan jalan.  Eksistensi dan integritas Sang Pemilik Kebenaran hanya menjadi hiasan dinding hati. Percaya kepada Sang Pemilik Kebenaran setengah hati,  dan justeru simbol spiritual dijadikan panutan. (red)