Print this page

Sekolah di PAUL

Sekolah di PAUL

detaktangsel.com- CELOTEH, Ketemu Nyonyo memang tidak matinya. Ada-ada saja celetukan pria paruh baya asal Aceh ini. Seperti bank lelucon, Nyonyo selalu menuangkan cerita lucu dan masuk akal.

Sabtu, 9 Agustus 2014, kali pertama ketemu Nyonyo sejak berpisah puluhan tahun. Pribadi alumni perguruan tinggi jurnalis tidak berubah sama sekali. Jenaka dan masih suka canda.

Adalah kediaman Arman Badrizah, tempat berkumpul. Rumah berbentuk minimalis yang terletak di kawasan Jalan Agung Raya itu, jadi ramai. Ada Sigit Uban, Kris Ansaka yang ganti nama Mohammad Arsjad sejak memeluk agama Islam. Ada pula Bonar yang ompong giginya.

"Nyo, bulan sedang purnama,! seru Sigit.

Aku, Bambang, Arman, Hakim, Bonar, Bang Heru, Edwin Tirani, Cecep, Arsjad, dan beberapa teman cewek, Tri Gepeng, Ida, Dwi, Titien, dan Ito tertawa geli. Karena teringat, Nyonyo akan berganti jatidiri sebagai manusia srigala.

"Ingat saja kamu, Nar," kata Nyonyo yang nama sebenarnya Budi Salman.

"Uuuuuuuuuuu sambil mulutnya manyun bak Srigala."

Semua terbahak-bahak. Suasana pertemuan mirip semasa masih kuliah. Tidak ada jarak, kenangan lawas hidup kembali.
Di sela-sela suasana riang gembira, tiba-tiba Tri Gepeng, adik Sigit Uban, marah.

"Gue marah, siapa yang ngomong Arman sakit. Arman segar bugar kok dibilang sakit. Gak bener nie," ujar Tri bernada kesel.

Untung, tidak ada yang memperhatikan perubahan sikap Tri. Untung pula, tidak yang mempermasalahkan sebagai prinsip kabar burung soal Arman sakit. Ya, semua larut dalam kegembiraan seusai acara Halal Bi Halal alumni STP Angkatan 1981.

Entah kenapa, tanpa disagka Bonar menggulirkan ide cemerlang tentang Pendidikan Akhir Usia Lanjut (PAUL). Lembaga pendidikan ini tingkat lanjut dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

"Gagasan itu perlu diwacanakan sebagai wadah berhimpun manusia usia lanjut (manula) untuk menempuh pendidikan untuk menuju akherat," tutur Gepeng laki yaitu diriku.

Banyolan ini ternyata tidak mendapat respons positif dari Arman dan kawan kawan. Namun, aku tertarik meski tidak digubris.

Usai pertemuan, kucoba share gagasan sebagai status di sosial media facebook. Ternyata sambutannya cukup lumayan.

"Bang, bener ada wacana mau mendirikan sekolah PAUL?" tanya Ade asal Lampung.

"Cuma wacana aja De. Kenapa?" aku balik bertanya.

"Kalau benar ada. Ade mau mengajar, Bang," jawabku.

"Ade gagas aja di Lampung. Kurikulumnya seputar pendidikan tentang akherat. Kalau bisa diskusikan sama Majelis Ta'lim, De," ujarku bernada sumbang saran.

Tahu-tahu Sri Hartono, pria yang tinggal di kawasan Ciputat nimbrung. Ia usulkan agar peserta pendidikan akhir ini berusia manula saja.

Begitupun Astutie, Wiwin, Anas Tara,dan Sekar Arum. Semua pada menyukai wacana pendirian sekolah PAUL. Jay juga ikut berkomentar.

"Mbah, PAUL adalah ide bagus. Ide ini patut direalisasikan," kata Jay.

"Awakmu yo sebagai kepala sekolahnya. Ajak jomblo-jomblo Depok menjadi peserta agar bisa gaul dengan komunitas manula," ujarku.

PAUL merupakan brand yang menjual. Bentuk lembaga pendidikan ini bak kendaraan menuntun manula mendapat pencerahan agar sadar. Sadar tentang hakikat hidup dan hakikat beragama.