Nasihat Moral dan Politik Begawan Acih

Nasihat Moral dan Politik Begawan Acih

detaktangsel.comCELOTEH - Suasana alas atau hutan Pringgodani tidak sejuk lagi. Kawanan monyet merasa gerah. Selain meloncat-loncat, satwa ini bergelantungan di ranting pohon cemara dengan jiwa yang kosong.

Begitu pun penghuni Padepokan Ati Ayem, Begawan Acih Lelembut Adem. Keluar dari ruang semedi alias pertapaan, Acih mondar-mandir. Duduk enggak tenang bukan karena bisulan. Juga berjalan tidak tenang.

Hati Acih meradang. Pikirannya pecah berkeping-keping. Dan, jiwanya tampak tidak tenang.

Nun jauh di sana, tiga anaknya, Sugeng, Hendro, dan Indra riang gembira. Mereka tidak tahu-menahu kondisi kebatinan Sang Romo. Sungguh suasana yang sangat kontradiksi antara orangtua dan anak.

"Apa anak-anak ngerti perasaanku, tidak ya," tutur Acih menggerutu.

"Mungkin, di antara anak-anakku mengalami sesuatu hingga membutuhkan kehadiranku."

Acih coba menenangkan hati. Menarik napas panjang, lalu duduk bersila bak sedang bersemedi. Mulut Acih komat-kamit membaca mantera. Tak tampak kesedihan dalam diri anak-anaknya. Justeru anak-anaknya tampa riang gembira satu sama dengan lainnya.

Acih merenung dan menggelus-elus jenggot dan kumisnya. Matanya menerawang memandang ke langit nan biru.

"Oh Kanjeng Gusti, pertanda apa akan menimpaku. Hamba mohon petunjuk-MU," tuturnya.

Selang beberapa jam, Sugeng, Hendro, dan Indra berteriak-teriak memanggil namanya. Teriakan itu tentu mengejutkan Acih yang sedang bersemedi.

Ia berguman sambil menafsirkan arti kehadiran anak-anaknya. Diharapkan kehadiran Sugeng, Hendro, dan Indra memecahkan kegalauan hatinya.

"Ada apa, Nak. Kamu kok ceria banget," kata Acih menyambut kedatangan anak-anaknya.

Sugeng, Hendro, dan Indra langsung mencium tangan Acih. Mereka mengumbar senyum tanpa reserve. Pandangan ini membuat Acih sebagai orangtua makin bertanya-tanya.

Sugeng memecahkan suasana. Dengan suara bernada mayor, Sugeng menceritakan jalan menuju kota sekarang gaduh sekali. Banyak aksi unjuk rasa menebarkan tuntutan. Namun, tuntutannya ngawur karena tidak konseptual. Ada yang minta pilkada langsung. Ada pula kelompok yang menolak tuntutan itu. Kendati demikian, penolakan mereka itu tetap sebagai tuntutan.

Pilihan yang bertolak belakang dalam bentuk tuntutan itu bagi Hendra sama saja. Cerminan perasaan masyarakat yang tidak makin tidak normal. Mereka sama-sama menunjukkan semangat yang emosional.

Rata-rata masyarakat memaksakan kehendak. Tidak heran bila wakil rakyat pun menjadi tidak bijak dalam menyelesaikan masalah, termasuk saat membahas RUU Pilkada.

Sementara Indra hanya mempertegas argumen atau pandangan kedua kakaknya tersebut. Putra bungsu Acih ini tidak panjang lebar menyampaikan komentar. Ia cenderung mengadopsi kalimat bijak, saiki zaman ne wis edan. Lak gak edan, ora keduman. Tapi luwih becik dadi wong sing ati-ati lan waspodo. Artinya, sekarang zamannya sudah gila. Kalau enggak ikut gila, tidak kebagian. Namun lebih baik jadi manusia yang hati-hati dan waspada.

Pendapat Indra langsung dipotong Acih. Pendapat Indra benar. Sikap dan perilaku yang digambarkan dalam penuturan itulah merupakan prinsip.

"Anak-anakku. Jadilah sosok yang bijak. Tidak menghaki hak orang. Menerima rejeki dari Allah apa adanya. Sikap dan perasaan seperti ini akan membawa keselamatan duniawi dan akherat," ujar Acih memberi nasihat terhadap anak-anaknya.

Kalau kenal pejabat pemerintah, baik Lurah, Camat, Walikota, Menteri atau Presiden sekalipun itu semata-mata kemurahan Allah. Jangan diapresiasi berlebihan. Karena tidak suka pada hal-hal yang bersifat berlebihan. Lalu, jangan sekali-kali meminta kepada pejabat. Rejeki sudah diatur Allah.

"Inggih Bapak!" seru Sugeng, Hendra, dan Indra bersamaan merespon nasihat orangtuanya.

Bapak ingin anak-anaknya hanya bangga kepada kebesaran Allah semata, bukan bangga karena kenal pejabat pemerintah tersebut. Karena kita menglaim sebagai hamba, maka hukumnya kita wajib mengutamakan kepentingan Allah dan bukan mementingkan kemauan nafsu sebagai anak manusia.

"Camkan nasihat bapak ini ya!" seru Acih.

"Inggggggih........," jawab mereka.

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online