Print this page

PIUSH, Penjaga Budaya Baca dan Tulis UIN Jakarta

PIUSH, Penjaga Budaya Baca dan Tulis UIN Jakarta

Oleh Dedy Ibmar*

detaktangsel.com TANGSEL - Sore itu, seperti biasanya tampak segelintir mahasiswa duduk bersama di pojokan besmen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Entah apa yang diperbuat, corat-coret spidol di lantai, gumpalan asap rokok, serta gelas per gelas kopi tampak selalu hadir menemani. Terdapat secuil hal-hal aneh dari perilaku mahasiswa ini. Pembicaraan keseharian mereka adalah mengenai logika dan filsafat.

Pembahasan itu merupakan hal yang selalu membuat mahasiswa umumnya menunduk serta mengkerutkan dahi. Tetapi sebaliknya, sekelompok manusia yang menamakan dirinya Pojok Inspirasi Ushuluddin (PIUSH) itu malah tampak seperti membahas deretan cerita dongeng saat menyoal logika dan filsafat. Terkadang tampak sembilu, senyam-senyum, bahkan terbahak-bahak hingga letupan tawa mereka terdengar ke seluruh pelosok gedung kampus.

Tak selesai pada tataran diskusi, sebagaimana para intelektual umumnya, diskusi tak bisa dilepaskan dari budaya tulis-menulis. Tulisan merupakan ukuran yang dapat menggambarkan luas atau tidaknya pengetahuan seseorang. Melalui tulisan, seseorang berproses menuju abadi. Artinya, jika ucapan selamanya bergantung pada yang mengucapkan, maka tulisan sama sekali tidak. Bahkan, ketika sang penulis pun mati, tulisan-tulisannya masih hidup. Hal inilah yang sekiranya menjadi pedoman dasar bagi para mahasiswa penggiat kajian PIUSH. Dani Ramdhany, Muflih Hidayat dan Dedy Ibmar merupakan sebagian nama yang tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai media baik online maupun cetak.

Sayangnya, konsistensi diskusi dan menulis para penggawa PIUSH ini masih belum diikuti oleh para mahasiswa UIN Jakarta pada umumnya. Kebanyakan mahasiswa dari almameter yang banyak menghasilkan tokoh intelektual itu, rata-rata hanya berjibaku pada "fashion" dan "gadget". Tugas kemahasiswaan pun pada akhirnya hanya dianggap sebagai formalitas demi mendapat nilai belaka, miris tentunya.

Menanggapi hal ini, "khalifah" (Sebutan bagi pimpinan PIUSH) Sadam Husein mengatakan bahwa, terlebih dahulu kita sebagai "anak kajian" harus membenahi diri dan terus konsisten untuk berdiskusi dan menulis. Setelah itu hasil kajian harus tersebar ke seluruh mahasiswa UIN. Hal ini dimaksudkan agar budaya itu menjadi virus sehingga diskusi dan menulis benar-benar menjadi rutinitas mahasiswa.

Jika hal tersebut dilaksanakan, maka kemajuan dipastikan datang. Tak hanya bagi diri pribadi, kolektifitas PIUSH hingga UIN Jakarta, tetapi juga Tangerang Selatan sebagai daerah yang ditempati.

*Penulis adalah penggiat PIUSH