Print this page

Langgar Undang-Undang jika Pilkada Tangsel Diselenggarakan 2015

Langgar Undang-Undang jika Pilkada Tangsel Diselenggarakan 2015

detaktangsel.comTangsel - Wacana memajukan Pilkada Kota Tangsel dari 2016 menjadi 2015 memunculkan berbagai pandangan. Namun bila digelar serentak tahun depan, rasanya mustahil karena melanggar aturan perundang-undangan.

Direktur Sekolah Demokrasi Deddy Ramanta mengatakan, memajukan pilkada Tangsel menjadi 2015 ibarat menegakkan benang basah. Soalnya, saat ini Peraturan Perundang-undangan (Perppu) Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pilkada Langsung belum disahkan.

Lebih lanjut ia menambahkan, sangat mustahil mengubah pasal-perpasal dalam Perppu tersebut di tengah aturan ini diterima atau ditolak DPR-RI.

"Agak lucu mendorong pilkada Tangsel dimajukkan tahun 2015. Di draft Perppu saja isi pasal tidak ada memajukkan, yang ada memundurkan. Tiba-tiba ada wacana memajukan, analoginya seperti apa,?tanya Deddy kepada wartawan, Minggu (21/12).

Deddy menilai dari kaca mata hukum tata negara, untuk mengubah pasal itu tidak mudah. Pertama, Perppu akan baru akan dibahas DPR-RI Januari mendatang. Diterima atau tidak, saat ini masih dalam lobi-lobi fraksi. Kedua, kalaupun diterima pasal-perpasal tidak bisa diubah begitu saja. Bila ingin mengubah perlu ada Undang-undang baru, dan itu butuh waktu tidak sebentar.

"Mekanismenya harus didaftarkan dulu di Prolegnas DPR-RI. Itu memakan waktu cukup lama karena pembahasan harus memulai dari awal lagi," katanya.

Deddy melihat adanya keinginan segelintir kepala daerah memajukan pilkada yang kemudian diwacanakan Kemendagri, itu bermuatan politis. Sebab, kepala daerah yang habis pada masa itu, kemungkinan menang dalam pilkada 2018 peluangnya cukup kecil.

Alasannya, kata Deddy, mereka tidak lagi memiliki kekuasaan kalau pilkada digelar 2018, beda pilkada dimajukan tahun depan, dimana incumbent bisa mengontrol anggaran ataupun mengarahkan birokrat.

"Simple saja alasan mewacanakan pilkada dimajukan tahun depan. Ini untuk mengamankan kekuasaan kepala daerah yang jabatannya habis 2016 atau 2017," ungkapnya.

Sementara, Akademisi UIN Syarifhidayatullah Gun-Gun Heryanto enggan bersepekulasi terkait wacana memajukan pilkada serentak tahun depan. Menurutnya kurang elok berkomentar di tengah draft tersebut baru akan dibahas politisi di Senayan, Januari mendatang. Kondisi ini malah akan merumitkan dan membingungkan masyarakat.

"Kemendagri harusnya tidak usah mewacanakan sesuatu yang merusak kondusifitas. Ini tidak baik ditengah Perppu yang masih dalam pembahasan," ujarnya.

Sebelumnya Kementarian Dalam Negeri mewacanakan untuk pilkada yang digelar 2016 dan 2017 digelar serentak pada 2015. Anggota KPU Kota Tangsel Mujahid Zein mengatakan, wacana pilkada tahun depan pertama kali dilontarkan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Prof Djohermansyah Djohan.

Alasan Dirjen, kata Mujahid, masa jabatan pejabat sementara (Pjs) walikota terbilang lama, dari 2016 sampai 2018. Hal ini akan berdampak terhadap delegitimasi pemerintahan.

"Dasarnya agar tidak lama penjabat yang ditunjuk Gubernur. Kalau pilkada 2015, tidak ada penjabat, tapi langsung walikota definitif," katanya.

Dalam Perppu Pilkada langsung menyebutkan salah satunya dalam Pasal 201 ayat 2. Isinya pemungutan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang masa jabatannya berakhir pada 2016, 2017 dan 2018 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada 2018. Masa jabatan gubernur, bupati, dan walikota yang menang di pilkada 2018 hanya sampai 2020.

Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan walikota yang berakhir masa jabatan pada 2016 dan 2017 diangkat penjabat pejabat kepala daerah sementara sampai dengan terpilihnya kepala daerah definitif. Adapun pilkada serentak secara nasional dilangsungkan pada 2020.