Print this page

Pesawat Air Asia QZ85001 Stall Berkepanjangan, Ini Kronologi Jatuhnya

Pesawat Air Asia QZ85001 Stall Berkepanjangan, Ini Kronologi Jatuhnya

detaktangsel.com JAKARTA - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi terhadap kotak hitam milik pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada 28 Desember 2014.

Menurut KNKT, terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab kecelakaan.

Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, Ketua Tim Investigasi KNKT Mardjono Siswo Suwarno, dan Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT Kapten Nurcahyo Utomo memberikan penjelasan terkait kronologi jatuhnya pesawat.

"Ini adalah rangkaian, mulai dari rusak, penanganannya bagaimana, setelah penanganan akibatnya apa, dan bagaimana pilotnya menanganinya," ujar Nurcahyo di Gedung KNKT, Jakarta Pusat, Selasa (01/12) seperti diberitakan Kompas.com.

Pesawat yang membawa 156 penumpang tersebut lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya, pada pukul 05.35, menuju Changi Airport, Singapura.

Pesawat terbang dengan ketinggian 32.000 kaki dan dijadwalkan tiba di Singapura pada pukul 08.36 waktu setempat.

Pada pukul 06.01 WIB, pilot mendeteksi adanya gangguan melalui tanda peringatan. Gangguan tersebut terjadi pada sistem rudder travel limiter (RTL) yang terletak di bagian ekor pesawat.

Pilot kemudian mengatasi gangguan itu dengan mengikuti prosedur dalam electronic centralized aircraft monitoring (ECAM).

Selanjutnya, gangguan yang sama muncul pada pukul 06.09 sehingga pilot melakukan tindakan sesuai dengan prosedur yang sama.

Kemudian, gangguan pada bagian yang sama dan tanda peringatan yang serupa terjadi kembali empat menit setelah gangguan kedua.

Saat itu, pilot kembali melakukan prosedur sesuai ECAM. Namun, dua menit setelahnya, masalah pada bagian yang sama kembali timbul.

Meski demikian, pada gangguan keempat tersebut, menurut Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, pilot mengubah tindakan dengan tidak sesuai dengan prosedur ECAM.

Masalah yang terjadi ternyata berbeda pada tiga gangguan sebelumnya.

Soerjanto mengatakan, gangguan keempat tersebut pernah terjadi dan dialami pilot QZ8501 pada 25 Desember 2014 di Bandara Juanda.

Saat itu, circuit breaker (CB) pada flight augmentation computer(FAC) direset oleh teknisi pesawat.

Investigator KNKT menduga penanganan berbeda saat gangguan keempat tersebut dilakukan pilot setelah mengingat apa yang dilakukan teknisi pada 25 Desember, atau beberapa hari sebelum penerbangan menuju Singapura.

Kemungkinan pilot QZ8501 melakukan reset ulang CB untuk mengatasi gangguan pada RTL. Hal tersebut ternyata menonaktifkan FAC 1 dan 2.

Setelah kedua komputer tidak aktif, kendali pesawat berganti darinormal law ke alternate law.

Dengan kata lain, kendali penerbangan tidak lagi otopilot, tetapi dilakukan secara manual.

Hilang Kendali

Dalam kondisi tersebut, menurut Nurcahyo, pesawat berguling sejauh 6 derajat per detik. Padahal, normalnya pesawat berbelok hanya sebesar 2 atau 3 derajat per detik.

Hal itu akibat adanya kerusakan pada RTL yang merupakan salah satu alat pengendali kemudi pesawat.

Setelah sembilan detik tidak ada kemudi, badan pesawat berguling sejauh 54 derajat.

Kemudian, pesawat yang berguling relatif bisa dikendalikan setelah ada input yang membuat pesawat kembali ke posisi normal.

Meski kembali kepada posisi normal, hidung pesawat ternyata semakin mengarah ke atas dan pesawat menanjak secara ekstrem dengan kecepatan 11.000 kaki per menit, dari 32.000 kaki ke 38.000 kaki.

Di ketinggian itu, pesawat kembali berguling mencapai sudut 104 derajat.

Dalam kondisi tersebut, pesawat mengalami upset condition danstall. Pesawat kehilangan daya angkat dengan kecepatan terendah mencapai 57 knot.

Dalam kondisi stall dan kemiringan mencapai 104 derajat, pesawat turun hingga 29.000 kaki.

Di ketinggian tersebut, badan pesawat kembali dalam posisi normal, tetapi di luar kendali pilot hingga terjun ke laut.

"Pesawat kehilangan daya angkat, tetapi mampu kembali dalam posisi stabil. Jadi, sampai turun ke laut, seolah-olah dalam kondisi normal (seperti melakukan pendaratan)," kata Soerjanto.

Ada Retakan di Komponen

Nurcahyo Utomo mengatakan, ada 1 komponen di Rudder Travel Limiter (RTL) pesawat AirAsia QZ8501 yang mengalami keretakan pada soldernya. RTL itu berada di bagian ekor pesawat.

"Ada komponen RTL yang mengalami keretakan solder pada electronic module, pada RTL yang lokasinya berada pada vertical stabilizer," ujar Nurcahyo seperti diberitakan Liputan6.com.

Pria yang akrab disapa Cahyo itu menjelaskan, diduga retakan terjadi karena ruangan tempat RTL tak berpendingin. Saat pesawat parkir di bandara dan terjemur matahari, maka suhu pada RTL menjadi sangat panas. Namun, saat terbang dengan ketinggian 32 ribu kaki, suhu mencapai minus 50 derajat celcius.

"Kondisi seperti itu yang diduga membuat retakan," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT‎ ini.

Retakan itu diduga menjadi penyebab gangguan-gangguan yang dialami QZ8501. Tercatat ada lebih dari 3 kali RTL mengalami gangguan, saat pesawat yang mengangkut 162 orang itu terbang dari Surabaya menuju Singapura pada Minggu 28 Desember 2014. Bahkan sepanjang 2014, tercatat sudah ada 23 gangguan serupa pada RTL.

Namun, perawatan terhadap RTL itu tidak dilakukan de‎ngan baik oleh AirAsia. Maskapai asal Malaysia itu dianggap oleh KNKT tidak memanfaatkan sistem perawatan pesawat menggunakan Post Flight Report (PFR) secara optimal.

Sehingga gangguan pada RTL terjadi berulang-ulang dan tidak terselesaikan secara tuntas.

"Jika suatu pesawat telah mendarat, laporan gangguan bisa dicetak dan dilakukan tindakan perbaikan. (Gangguan) ini kurang dianalisa dengan baik, sehingga data tidak mencukupi. Di Indonesia, tidak ada kewajiban pilot melapor kalau pesawat ada gangguan supaya bisa diperbaiki oleh maintenance," kata Cahyo.

Stall Berkepanjangan

Hasil investigasi KNKT menyatakan pesawat mengalami stall berkepanjangan.

“Arus listrik putus, menyebabkan autopilot disengage, flight control logic berubah dari normal lawke alternate law. Kondisi ini mengakibatkan pesawat berguling (roll) mencapai sudut 54 derajat,” kata Kepala Subkomite Kecelakaan Udara KNKT Kapten Nurcahyo Utomo seperti diberitakan CNN Indonesia.com.

“Pengendalian pesawat selanjutnya secara manual pada alternate law oleh awak pesawat telah menempatkan pesawat dalam kondisi ‘upset’ dan ‘stall’ secara berkepanjangan sehingga berada di luar batas-batas penerbangan yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat,” ujar Tatang.

Stall ialah kondisi ketika pesawat kehilangan daya untuk terbang akibat aliran udara pada sayap terlalu lambat. Analisis mengenai kondisi QZ8501 yang mengalami stall sebelumnya telah dikemukakan oleh Gerry Soejatman, pakar penerbangan dan investigator swasta kasus kecelakaan pesawat.

“Pada kasus AirAsia, pesawat naik, lalu jatuh. Kemungkinan bagian belakang bawah pesawat lebih dulu menyentuh permukaan laut,” kata dia kepada CNN Indonesia.

Menurut Gerry yang pernah membantu rekannya menyelidiki kecelakaan Air France 447 yang jatuh ke Samudra Atlantik pada 1 Juni 2009, QZ8501 tidak jatuh ke laut dalam posisi menukik dengan hidung pesawat lebih dulu menyentuh air laut.

Hal tersebut terlihat dari kondisi bangkai pesawat yang ditemukan. QZ8501 ditemukan di dasar laut tidak seluruhnya dalam serpihan kecil. Bagian ekor dan badan pesawat masih tampak utuh meski terpotong dalam beberapa bagian.

Potongan-potongan yang ditemukan pun cukup besar, tak pecah berkeping-keping.

Pada AirAsia QZ8501, stall warning sempat berbunyi sebelum pesawat jatuh ke laut, dan pilot kesulitan mengembalikan pesawat ke kondisi normal atau recover.

AirAsia QZ8501 jenis Airbus A320 hilang kontak di sekitar Selat Karimata pada 28 Desember 2014. Puing-puing pesawat yang membawa 155 penumpang dan tujuh orang kru itu ditemukan dua hari kemudian tersebar di Laut Jawa.