Print this page

Kenapa Saya Menulis Puisi

Kenapa Saya Menulis Puisi

detaktangsel.com Selamat pagi, selamat menjalankan aktifitasnya. Semoga keberkahan, kesehatan dan keselamatan senantiasa mengiringi setiap tapak dalam langkah kita mengais rejeki untuk keluarga kita tercinta di hari ini. Aamiin !

Mohon maaf saya akan bercerita sedikit tentang opini saya dlm merangkai kata untuk menulis sebuah karya sastra khususnya, 'puisi'. Biar tidak ada anggapan kalau saya hanya sekadar ingin disebut Sastrawan atau Budayawan yg menulis puisi tanpa nas. Karena ada sebelas puisi yg sudah saya posting di grup yg cerdas ini, mungkin membuat teman2 bertanya: Kok Agam rajin amat menulis puisi belakangan ini. Ada apa ya?

Untuk itu ijinkan saya mencoba menjawabnya lewat grup yg saya banggakan ini. Barangkali bisa bermanfaat bagi pembaca yg budiman, sambil menikmati pagi yg indah dan mendung ini.

Begini. Saya memulainya dari kredonya Sutardji Calzoum Bachri yg mengatakan: "Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas..." (Horison,1974).

Nah lo? Lama saya menyelami maksud dari kalimat Maestro puisi ini. Mencoba membaca buku2 kritikus sastra sampai filosofi2 sastra agar dapat menerbangkan kata-kata yg lahir pada setiap larik-larik puisi saya dengan bebas tanpa medium. Sampai kemudian saya bertanya: Tapi dapatkah pengertian tanpa adanya kesadaran, pak'de? Dan apalah artinya kesadaran tanpa medium bagi seorang penyair. Dan medium yg saya maksudkan itu adl kata. Dan pada mulanya kata adalah titik yg ditarik menjadi garis lurus, yg berkelok menjadi huruf.

Kata memang bukan alat (belaka) untuk mengantarkan makna, Pak Bro. Tapi kata menjadi medium bagi kesadaran jiwa.

Ketika kata menjadi bebas, kebebasannya bukanlah terbang dan menebang semata semantik, menceraikan dirinya sehingga tak terjejah lagi.
Kata bebas dan terbang untuk mencari kata2 lain yg kiranya cocok untuk gayanya sendiri. Tapi tetap: kata yg terbang dan menebang itu, adalah dan hanyalah benda mati tanpa kesadaran...

Begitulah hemat saya menyikapi kredonya Pakde Sutardji...

Pengertian pun adalah benda mati tanpa kesadaran yang saya maksud, persis seperti Tuhan adalah nothing tanpa dunia dan manusia.

Atau Tuhan menjadi nothing tanpa diri Nya. Sebab itu kesadaran membutuhkan ruang, seperti roh membutuhkan tubuh sebagai ruang. Karena itu Tuhan menubuh pada dunia. Atau roh menubuh pada badan manusia. Dan kesadaran menubuh pada kata2 dengan lain perkataan, kata memang adalah medium untuk mengantarkan pengertian. Tapi pengertian kreatif, yg menjauh dari pengertian sehari-hari dlm maknanya.

Dan disinilah titik pisah antara tanda kutip, "Kredo Seni diatas Kredo Puisi" yg menjadikan saya sedikit berbeda dng Pakde Sutarji dlm menggunakan kata2 sbg medium.

Begitulah sekiranya saya menemukan kreatifitas menulis sebuah puisi. Gak asal nulis.

Saya berusaha "menceraikan" kata ini, atau kata2 yg bebas itu, bukan seperti pada sajak "hampa nilai" yg ditulis Ignas Kleden ( ping diatas pong), jika sahabat sdh membacanya. Tapi juga pada permainan penceraian tipografi yg berakibat pada pengubahan makna yg sampai pada pembaca...

Lantas. Apakah saya sudah menjadi penyair? Gak penting! Bagi saya hanyalah menziarahi kata2 agar menemukan medium yg bersenyawa dengan hati dan perilaku saya yg semestinya. Karna setiap karya saya yg lahir sebelum menjadi milik pembaca telah saya inkubasi dalam Kerajaan Kata yg bertabur mutiara2 hikmah ratna mutu manikam.

Jika Sutardji menemukan "kredo" sebagai penggambaran Maha Karyanya. Maka saya menggunakan istilah, "DNA" untuk mencirikan 'who i am'. Jadi setiap karya saya yang lahir dapat saya pastikan DNA nya milik Agam. Bukan milik Rumi, Abduh, Gibran apalagi Ronggowarsito...

Dan saya akan menunjukan kontradiksi pikiran saya dlm DNA sastra yg saya punyai, yang tumbuh dan berkembang dalam, Taman Semesta saya.

Sahabat mau tau? Begini ceritanya...Bagi saya, pemikiran2 dlm kredo puisi menjadi menarik bukan dlm kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen2 yg diajukannya mengenai sense dan non sense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad. Harga dan nilai kredo tsb tdk selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil2 nya, tapi terutama berdasarkan pertanyaan : Apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yg telah dia deklarasikan?Jangan2 coppy paste...

Nah, dari situlah saya mulai merancang dan mencipta sebuah karya puisi yg lahir berdasarkan pengalaman pribadi saya yg saya sebut dng DNA Agam Pamungkas Lubah...

Yang di dalamnya isinya sebuah perjalan spiritual makhlukNya dari titik nol sampai nol. Artinya berproses melalui 'wadatul wujud' agar semuanya tersampaikan utuh melalui sebuah proses yang panjang dan matang, sampai kemudian orang mengatakan: inilah DNA Agam?

Demikianlah kawan sekelumit cerita dari Kenapa Saya Menulis Puisi. Mulai dari bagaimana sy menulis lalu membacanya, sampai terbang ke lidah2 pembaca baik sengaja maupun tak sengaja.

Tapi apapun itu saya berterimakasih banyak sama teman2 krn sudah mau membaca tulisan saya ini dengan susah paya. Smg menjadi inspirasi buat kawan2 untuk menganalisis setiap karya puisi orang yg dibacanya... Terimakasih sdh mau membacanya.