Menurut Ketua Komisi II yang juga anggota Ban-Ang DPRD Bambang Triyadi, kedua Opsi tersebut dimaksudkan untuk keberlangsungan penyelenggaran pemerintahan di Kota Tangerang Selatan adalah APBD-P dilaksanakan atas dasar Peraturan Wali Kota (Perwal) atau Peraturan Daerah (Perda).
Mengingat substansi permasalahan belum 'clean dan clear', kedua Opsi tersebut menurut Bambang mengandung implikasi luas dalam tatanan politik, hukum, dan pemerintahan, serta dianggap sebagai 'jaminan' keabsahan sebuah produk politik sekaligus produk hukum yang harus dipertanggung-jawabkan oleh pemerintah dalam arti luas, khususnya Wali Kota dan DPRD.
Menurut politikus senior PDIP tersebut, konsultasi ke Kemendagri dilakukan untuk mencari solusi atas perbedaan persepsi dalam proses penetapan APBD-P, yang menurutnya di luar sistem tata pemerintahan, di mana proses pembahasan di tingkat Komisi dengan SKPD selaku mitra kerja sedang berlangsung namun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sudah ditetapkan oleh pihak Eksekutif.
Bambang menegaskan, manakala Legistatif dan Eksekutif itu dianggap sebagai pasangan suami-istri (Pasutri), maka pihak Kemendagri merekomendasikan agar keduanya jangan menjadi ribut. "Ya rujuklah," ujarnya menirukan saran Kemendagri.
Sementara itu, kalau tidak bisa rujuk, maka untuk keberlangsung pemerintahan, Kemendagri merekomendasikan untuk menggunakan Peraturan Wali Kota (Perwal).
Namun yang terjadi menurut Bambang, pimpinan rapat Ban-Ang memutuskan untuk dilakukan voting dengan dua opsi Perwal atau Perda, dengan beberapa hal yang belum dibahas terkait dengan Kedua pilihan tersebut. "Belum ada kesepakatan, kemudian dilakukan voting. Hasilnya 11 orang memilih pakai Perwal dan 12 orang pakai Perda," jelasnya.
"Apabila DPRD memilih Perda, maka DPRD dipaksa 'kawin' oleh Pemkot, sementara yang dikawinin wanitanya lagi hamil," ungkapnya berkiasan