Saya cuma mengingatkan, minimal bagi diri saya sendiri, bahwa bagi Tangerang Selatan, eksistensi setu bukan saja sebuah wilayah resapan air yang sangat dibutuhkan manusia-manusia Tangsel di musim hujan dan musim kemarau. Resapan air hilang, bisa jadi bahaya banjir melanda ke banyak kawasan sekitar. Belum lagi ketika musim kemarau panjang datang, resapan air sangat dibutuhkan bagi warga untuk menghadapi bahaya kekeringan air.
Ya, bukan sekadar itu. Bagi Tangsel, setu telah menjadi petanda kultural masyarakat Tangsel yang harus dihormati dan dilestarikan. Bukalah lembar sejarah bagaimana hubungan manusia Tangsel tempo dulu dengan setu. Setu bukan hanya tempat mencari penghidupan lahir, namun ia tempat menumbuhkan spiritualitas, teman bicara tentang kemungkinan keadaan, juga tempat lahirnya cerita-cerita bocah yang butuh imajinasi yang dekat dengan lingkungannya. Hiburan bagi anak-anak terjadi secara alamiah, pun kecerdasan lokal tumbuh berkembang sebagai jawaban atas kemajuan zaman. Bahkan, mitologi setu-setu di sekitar Tangsel telah mengantar orang-orang Tangsel tempo dulu merawat setu dengan sepenuh hati. Kondisi ini semakin mengkristal, karena Tangsel memang tidak punya laut dan gunung. Tangsel hanya punya setu sebagai lokus kosmologinya. Karenanya, dulu, ya dulu, kakek nenek kita tidak punya nafsu untuk mengubah setu menjadi perumahan atau sekadar untuk lahan parkir sebuah rumah makan milik seorang mantan anggota dewan. (Chavchay Saifullah)