Print this page

Pro dan Kontra Musik Dalam Kajian Fikih Dan Bagaimana Cara Kita Mengenal Batasannya

Pro dan Kontra Musik Dalam Kajian Fikih Dan Bagaimana Cara Kita Mengenal Batasannya

Detaktangsel.com, OPINI -- Dalam Ensiklopedia Hukum Islam, disebutkan ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum musik (taghanni dalam istilah fikih).
Ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya. Beberapa ulama membolehkan penggunaan alat-alat musik dan nyanyian seperti Daud az- Zahiri (pendiri mazhab az-Zahiri) dan Imam Malik (pendiri mazhab Maliki).

Meskipun begitu, mereka masih mengajukan syarat atau ketentuan- ketentuan agar musik dan nyanyian tersebut dibolehkan.

Syarat-syarat yang dimaksud adalah; materi dan atau pesan yang terkandung dalam bait-bait nyanyian tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Seperti bisikan ungkapan yang mendorong seseorang berbuat maksiat yg menimbulkan syahfat. Serta pelaksanaannya baik cara maupun waktu/momennya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama.

Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf bin Abdullah al-Fairuzabadi asy-Syirazi (393 H/1003 M-476 H/1083 M) salah seorang tokoh fikih mazhab Syafii tidak melarang musik secara keseluruhan. Musik boleh digunakan dalam pesta perkawinan (walimatul urs) dan pesta khitanan.

Sedangkan, musik yang akan membangkitkan hawa nafsu dan yang digunakan di luar kedua macam pesta tersebut hukumnya adalah haram.

Adapun bernyanyi dibolehkan jika dengan tujuan untuk memacu (mempercepat jalannya) unta yang sedang berjalan.

Lebih jauh lagi, Imam al-Gazali mengutip salah satu pendapat Imam asy-Syafi'i (pendiri mazhab Syafi'i) yang mengatakan bahwa;  sepanjang pengetahuannya, tidak ada di antara ulama Hijaz yang membenci mendengarkan musik dan nyanyian kecuali nyanyian yang di dalam syairnya terdapat ungkapan yang tidak baik seperti ungkapan-ungkapan porno yang dapat membangkitkan nafsu birahi. Adapun nyanyian yang bebas dari syair-syair tidak sopan tersebut seperti nyanyian yang memuat pujian terhadap keindahan alam hukumnya boleh.

Dalam tradisi sufi, musik umumnya sangat dihormati dan dinikmati melalui istilah 'sama'. Sama’ secara harfiah berarti “mendengarkan” (menyimak) dan dalam tradisi sufi sama’  mengacu pada pendengaran dengan hati, semacam meditasi.
Ini adalah merupakan pemusatan perhatian pada melodi agar mendapatkan apa esensi dari kekuatan melodi itu dalam rasa.

Di dunia Islam, ada proses panjang tentang tradisi sama’  walaupun ada juga tradisi panjang yang menentang segala bentuk musik dengan berbagai tingkatannya.

Bagi kaum sufi, hanya bisa efektif jika diposisikan pada tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan orang-orang yang tepat pula.

Waktu yang tepat adalah ketika hati pendengar terbuka dan siap mengapresiasi apa yang mereka dengar sehingga musik bisa ditampilkan setiap waktu.

Tempat yang tepat tidak harus tempat yang khusus, tetapi tempat yang memungkinkan seseorang bisa menempatkan dirinya dalam bingkai pikiran yang tepat.
Akhirnya, orang-orang yang tepat adalah sangat penting, ketika seseorang perlu ditemani oleh orang-orang yang telah mencapai taraf spiritual yang sama tingginya.

Beberapa orang berpendapat bahwa kondisi seperti ini tidak bersifat mutlak, sebab sama’  sangat membantu siapa pun, betapa pun mereka belum begitu canggih dan siap. Not-not dan gerakan tarian dan musik sufi diciptakan oleh mereka untuk menyerupai dasar realitas dan untuk menyembah Tuhan dengan menggunakan tubuh dengan cara-cara yang berbeda dari gerakan sholat.

Semata-mata menikmati musik dalam diri kaum sufi tidaklah memiliki nilai; musik hanya menjadi kegiatan yang berharga jika ia mempunyai tujuan yang tersembunyi. Keadaan spiritual (hal) yang dihasilkan oleh musik adalah kesadaran estetik yang lahir dari kedalaman metafisis. Sedangkan nada-nada mewakili keselarasan ilahiah.

 

Syihab Al-Din Al-Suhrawardi membolehkan tarian jika dilakukan untuk motif yang benar karena inna al-a’ mal bi al-niyyat (tindakan itu bergantung pada niatnya).
Al Ghazali juga berpendapat bahwa semata-mata karena sebuah tindakan menyerupai tindakan maksiat, orang tidak harus mencelahnya jika tindakan itu dilakukan dengan cara yang benar.

 

Dalam Al-Qur’an, tidak ada celaan terhadap lahw atau bathil, yang melenakan dan yang sia-sia, asalkan perbuatan itu untuk hiburan ringan yang tidak melenakan kita dari hal yang lebih penting daripada itu. Di sisi lain, perbuatan yang termasuk lahw al-hadist, yang disebut dalam surah Luqman ayat 6 sebagai perbuatan yang sama dengan “omong kosong” sulit untuk dibenarkan.
Dari sudut pandang fiqih, kita harus membedakan antara dua kategori yang disebut bathil atau netral (mubah).

Kategori yang dapat ditolak adalah ketika orang menjadi begitu terpesona dengan apa yang seharusnya bukan menjadi tujuan perhatian kita sehingga perhatian kita beralih dari objek yang seharusnya menjadi tujuan perhatian kita. Mungkin tidak ada yang salah dengan hal mubah itu sendiri, tetapi keburukannya berasal dari perannya sebagai pelana, dan musik dapat dengan mudah masuk ke dalam kategori ini. Di sisi lain, relaksasi yang dihasilkan oleh hiburan seperti musik mungkin membuat kita mampu berkonsentrasi lebih baik terhadap hal yang benar-benar penting, yaitu tugas-tugas keagamaan kita.

Dengan demikian, prinsip-prinsip utama sufisme secara metodologis sejalan dengan prinsip-prinsip para penentang sufisme dalam Islam. Kedua kelompok ini percaya bahwa satu-satunya cara membenarkan sebuah kegiatan seperti musik adalah dalam hal konsekuensinya bagi agama.

Kebanyakan sufi berpikir bahwa musik memperkuat keimanan, dan dalam banyak lingkungan membantu non-muslim untuk mengenal Islam lebih dalam.
Di Eropa dan Amerika Serikat misalnya, sufisme menjadi sangat terkenal di kalangan non-muslim, dan bagi beberapa orang menjadi alasan mengapa mereka akhirnya mengenal Islam sebagai rahmatan lil'alamin...

Wallahu a'lam bishawab
Semoga Manfaat

Padepokan Roemah Boemi
Pamulang
23 Agustus 2022

Oleh: Agam Pamungkas Lubah