Perang Banten vs Cirebon (Petistiwa Pagarage) Part.1

Perang Banten vs Cirebon (Petistiwa Pagarage) Part.1

Detaktangsel.com, OPINI -- Sebagian masyarakat kita mengenal bahwa Banten dan Cirebon adalah saudara tua. Segala hal yg berkaitan dengan urusan agama, sejarah, budaya dan trah selalu dihubung-hubungkan bak sebuah amplop dan perangko yg tak perna terpisahkan. Seolah tak ada cela pertikaian dan kemelut yg terjadi di antara keduanya.

Ini disebabkan tradisi tutur yg diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi yg mengisahkan bahwa penaklukan Banten oleh Syarif Hidayatullah bersama putranya Hasanudin berangkat dari Cirebon atas perintah Demak. Banten yg kala itu dipimpin oleh seorang Raja bernama Prabu Pucuk Ulum berhasil ditaklukan oleh Syarif Hidayatulah di tahun 1526 dan putranya Hasanudin didapuk sebagai penguasa wilayah Banten saat itu.

Dengan demikian hubungan kekerabatan antara Banten dan Cirebon sangat mengikat erat. Lantas bagaimana kemudian bisa terjadi perang antara kedua kerajaan Islam bentukan Syarif Hidayatullah tersebut yg seolah masyarakat tabu untuk menceritakannya? Bukankah ke dua-duanya merupakan cucu dari sang penakluk Banten dan Sunda Kelapa. Sang muftih agama yg tersohor akan keberanian dan kealimannya yg juga merupakan cucu dari penguasa tatar Pasundan, Maha Raja Prabu Siliwangi?

Begini ceritanya.
Tarik napas dalam2 dan Wuuusss....

Kejadian tersebut bermula dari ambisi Mataram yg ingin menguasai wilayah barat pulau Jawa setelah Madura dan Surabaya berhasil ditaklukan oleh Amangkurat 1. Yang menjadi target utamanya adalah Batavia dan Banten. Wilayah ini adalah bandar pelabuhan terbesar di sebelah barat setelah Makasar di timur. Namun dua kali penyerbuan Mataram ke Batavia 1628-1629 mengalami kegagalan total yg mengakibatkan Mataram mengalami kerugian yg cukup besar. Tidak mau mengalami kegagalan yg ketiga kalinya Mataram kemudian beralih target ke Banten. Dan untuk menguasai Banten, Amangkurat 1 melakukan siasat politik atas nama kerjasama dng cara menikahkan putrinya dengan penguasa Cirebon, Panembahan Giri Laya. Melalui cara ini dengan leluasa Mataram bisa menekan Cirebon untuk membujuk Banten mengakui kedaulatan Mataram sebagai penguasa wilayah Jawa.

Maka berangkatlah dua utusan dari Cirebon, Jiwasraya dan Nalawangsa ke Banten atas perintah Panembahan Giri Laya. Mereka membujuk Sultan Banten untuk mengakui kekuasaan Mataram. Namun usaha pertama ini mengalami kegagalan. Utusan berikutnya adalah seorang sentana (keluarga raja), yaitu Pangeran Martasari, dan putranya, berserta Tumenggung Wiratantaha. Tapi tetap saja Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir  menolaknya dengan tegas. Hal ini membuat Patih Mataram Tumenggung Singaranu marah besar kepada Pangeran Martasari. Menurutnya Cirebon dianggap tak becus dalam menangani perkara ini. Singaranu meminta bukti kesetiaan Martasari kepada Cirebon. Untuk itu dia memerintahkan agar segera diatur cara bagaimana untuk menyerang Banten. Seperti yang ditulis Pudjiastuti dalam bukunya: Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten.

H.J. De Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat 1 menuliskan:
“Sultan Banten tidak mau mengakui raja mana di atasnya selain Sultan Mekah, yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah,”

Bersambung Part.2....***

Wallahu a'lam bishawab
Semoga Manfaat

Padepokan Roemah Boemi Pamoelang
02 Juli 2022

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online