Pemanfaatan Ruang Budaya

Ruang budaya Ruang budaya

IMG 1479detaktangsel.com- Ruang  budaya politik, ekonomi, hukum, media, hiburan, pendidikan, dan agama dipenuhi oleh berbagai strategi populer. Yang menggunakan model-model strategi dan psikologi massa budaya popular  dalam rangka mencari popularitas, menghimpun massa, memenangkan pemilihan, mendapatkan pengikut, meningkatkan rating atau mencari keuntungan—popular strategis. Akibatnya, kita  tidak mempunyai ruang bagi pengembangan diri dan perenungan eksistensi.

Pancasila sebagai dasar negara melindungi kekayaan dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dan, memang Bung Karno adalah seorang jenius. Sang Proklamator Kemerdekaan RI ini  dapat
melihat dan mengelola suatu dasar negara yang dapat melindungi kebudayaan bangsanya.
Kemanusiaan akan terasa indah jika dalam merumuskan tidak selalu dengan kata-kata yang tersirat dan tersurat pada substansi lima sila tersebut. Sebaliknya perbuatan-perbuatan santun membuat diri sendiri dan orang lain merasa enak dan nyaman, meskipun itu dilakukan oleh seorang bisu  akan menjadi bahasa kemanusiaan yang penuh kefasihan. Maka,  tindakan yang nyata dan bermakna bisa lebih fasih dari sejuta untaian kata.
Seiring kemajuan zaman, tak heran jika banyak dari kita beranggapan sopan santun itu mengurangi rasa kebebasan bergaul. Padahal budaya santun akan membuat mereka dihargai orang lain.
Sopan santun itu bukan   warisan semata dari nenek moyang,  melainkan   sudah menjadi kepribadian kita. Namun, akhir-akhir ini, kita  telah mengalami proses pendangkalan spiritual dan moral, termasuk kehidupan beragama. Penghayatan agama jika tidak diimbangi dengan penghayatan intrinsik yang ditandai sujud jiwa kepada Sang Pencipta dan upaya membersihkan hati, semarak kegiatan agama belum menyentuh esensi agama. Namun yang terjadi adalah pendangkalan rohani.
Proses pendangkalan rohani pada akhirnya menyebabkan manusia kehilangan substansi kemanusiaannya. Materialisme, hedonisme, dan sadisme akan sangat subur dalam masyarakat yang rohaninya kering kerontang.
Menyadari pendangkalan itu sebagai bahaya, barangkali sudah saatnya  kita  mengangkat kembali nilai-nilai luhur.
Karena dengan penghayatan rohani, manusia dapat menumbuhkan penghargaan dan penghormatan kepada orang-orang yang berjasa kepada kita.
Secara subsransi bahwa budaya mengandung dua pengertian. Pertama, budaya sebagai prinsip. Kedua, sebagai bentuk seni pentas dan ruang pamer.
Kini budaya memiliki makna baru setelah transisi kekuasaan pada  1998. Budaya muncul sebagai alat yang sangat bermakna bagi sebuah kelompok atau komunitas ketika berbicara tentang eksistensi.
Ketika berada dalam ruang privat, kita banyak mengadopsi perspektif pasar. Bahwa pasar adalah satu-satunya logika dan mekanisme untuk menyediakan habitat budaya, dan bagi sebagian penyediaannya  dilakukan dalam koridor pasar dengan melibatkan intervensi privat, dan kemampuan masyarakat dalam memobilisasi potensi sosial budaya yang dimiliki dan dikenal dengan baik sangat menentukan universalitas budaya lokal dengan sejumlah kearifan.
  Berbagai kebijakan pemerintah menyiratkan kepentingan kaum pemodal ketimbang kesejahteraan rakyat kecil. Krisis ekonomi yang menjerat rakyat  pun tak lepas dari skenario sebuah kebijakan publik. Dampaknya, tentu sangat dirasakan rakyat secara keseluruhan.
Sementara sistem ekonomi kerakyatan yang digembar-gemborkan selama ini ternyata hanya slogan semata. Yang mencuat justru jargon-jargon ekonomi yang menguntungkan kaum borjuis.
Penguatan patron atau sistem ekonomi kapitalis itu terungkap melalui berbagai tema atau isu sentral yang tercermin dari sebuah kebijakan pemerintah. Akibatnya, rakyat  terjerumus ke dalam krisis ekonomi yang khas kapitalis. Sehingga tidak tertutup kemungkinan budaya demokrasi Pancasila berangsur-angsur menjadi demokrasi liberal.
Tidak seorangpun di antara mereka pernah berpikir untuk saling menghormati satu sama lain, bahkan dengan sebuah lirikan. Ketidakacuhan yang brutal ini, pengasingan yang tak berperasaan dari masing-masing orang dalam kepentingannya sendiri-sendiri menjadi semakin menjijikkan dan menyakitkan dengan semakin berdesakannya individu-individu ini dalam sebuah ruang yang terbatas.
Wajah kebudayaan bangsa akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan perubahan ke arah kondisi  yang di dalamnya dirayakan aspek-aspek kebudayaan yang bersifat permukaan. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi, dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah, banal dan dan tak-esensial.
Betapa tidak berdayanya diri manusia ini tanpa bantuan manusia-manusia lain. Sangat sehat  jika ada pendapat yang menyebutkan setiap manusia beriman itu bersaudara dan berbudaya santun.
Dalam kontens ini, kita perlu pula meningkatkan rasa aman dan damai di seluruh pelosok daerah. Tingkat kejahatan harus diminimalkan. Pencurian, pencopetan, pemerasan, penganiayaan, dan pembunuhan, harus kita berantas.
Demikian pula, penyalahgunaan narkotika yang masih saja dilakukan oleh sebagian warga kota  harus terus kita perangi. Seluruh warga kota, harus bahu-membahu, bergotong royong, dan bersama-sama mengurangi tindak kejahatan.
Jangan sampai warga kota bersikap apatis dan individualis. Sehingga tidak peduli kepada nasib orang lain.
Kita tetap menjadi anak bangsa yang menyandang gelar  ramah, santun, dan pandai bergotong royong.  Maka,  kita harus menghidupkan kembali budaya ramah, budaya santun dan budaya gotong royong  agar tercipta masyarakat damai, adil dan sejahtera.
Bayangkan kalau dibiarkan, maka akan mampu menggoyang dan menggoyahkan nilai-nilai budaya dan moralitas kita. Apakah hal ini pantas dikonsumsi oleh masyarakat? Apakah ini bukan merupakan pembunuhan karakter yang tersistematis?
Jika dibiarkan hidup, maka budaya destruktif lama-lama akan menyebabkan abrasi terhadap budaya bangsa. Karena budaya yang merusak itu  justru akan dipahami dan didaulat sebagai pembenaran dan selanjutnya semakin asing terhadap budaya sendiri.
Apabila kita tidak waspada terhadap budaya destruktif, negeri ini menjadi rusak. Sehingga idenitas bangsa lambat laun akan hilang .
Masih adakah yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan yang tidak terlampau jauh. Derio adzani moekti, mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online