Mengurai Benang Merah Sejarah Makasar-Banten Part 2

Mengurai Benang Merah Sejarah Makasar-Banten Part 2

Detaktangsel.com, OPINI -- Tak bisa dipungkiri bahwa komunitas orang-orang Makasar banyak berseberan di wilayah Banten pasca runtuhnya imperium kesultanan Gowa di Makasar 1669. Seperti dikisahkan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, bahwa pelayaran orang-orang Makasar itu terjadi setelah Gowa Tallo mengalami kekalahan. Mereka datang secara bergelombang mengikuti pendahulu2 mereka. Ada yang berprofesi sebagai nelayan, petani, pekerja bangunan, buru lepas, pendidik, bahkan sampai menduduki jabatan2 strategis dalam pemerintahan Kesultanan Banten.

Menurut Edward A. Alpers dalam, The Indian Ocean in World History,  "Banten menjadi pusat pengusi politik dari Makasar yang membuat VOC sangat khawatir." Hal ini sangat mungkin, karena bagi VOC orang-orang Makasar tersebut tak berpengaruh dengan kekalahan yang telah mereka derita pada perang Gowa dan VOC yg menyebabkan Sultan mereka terpaksa harus menandatangani Perjanjian Bongaya. Sebab bagi mereka yg menyerah adalah raja mereka, sementara mereka masih memiliki semangat juang yang tinggi dalam berperang melawan VOC. Sementara itu orang-orang Banten sendiri juga sudah dapat menduga bahwa kemenangan Speelman atas Gowa akan berdampak pada Banten. Sebab tidak menutup kemungkinan Speelman akan menyusun rencana besar untuk kembali  menyerang Banten mengingat Banten merupakan pelabuhan terbesar di pulau Jawa yang berdekatan langsung dengan pusat administrasi mereka di Batavia.

Menurut De Graaf dalam bukunya, Runtuhnya Istana Mataram, rupanya kedatangan orang-orang Makasar telah dinanti penguasa Banten. Para tamu dari Timur itu pun diberikan tempat di daerah Pontang, sebelum dipindahkan ke pusat kota Banten Lama, dekat pasar utama. Mereka diperlakukan dengan baik oleh penguasa Banten. Kehidupan mereka dijamin oleh Sultan. Karena di samping mereka memiliki semangat yg sama untuk berperang melawan VOC, mereka juga para pekerja keras yang tangguh. Mereka banyak terlibat dalam proses pembuatan benteng-benteng pertahanan Banten. Bahkan proses pembangunan dan renovasi istana Sorosowan dan Tirtayasa orang-orang Makasar memiliki andil yang cukup besar.

Sementara dari sisi konstribusi terhadap bidang pendidikan agama dan pemerintahan Frederick De Haan dalam:  De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch bestuur tot 1821 mengisahkan, Syekh Yusuf Al Makasari menikah dengan saudara perempuan Sultan Banten. Hal itu membuat dirinya memiliki kedudukan tetap di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Agung Kerajaan. Beliau memiliki pengaruh yang besar dalam bidang pendidikan agama ke masyarakat Banten khususnya di ruang lingkup istana, seperti mengubah tata cara berpakaian sehari2 masyarakat Banten yang sebelumnya terbuka menjadi lebih tertutup dan syar'i. Beliau juga yang pertama mengenalkan ilmu-ilmu tarekat ke masyarakat Banten yang beliau dapatkan ketika beliau menimbah ilmu di Aceh, Yaman, Damaskus dan Madina. Seperti tarekat Qadariyah, Naqsabandi, Syatariah, Balawiyah, dan Khalwati. Hal ini tentu bertolak belakang dengan anggapan sejarawan H.J. De Graaf yang mengatakan bahwa kehadiran orang-orang Makasar di Banten menciptakan banyak persoalan sosial seperti kerusuhan dan kekerasan lainnya.

Kesetian Syekh Yusuf dan orang2 Makasar terhadap Banten teruji. Itu terbukti mereka tetap bertahan dan berjuang di Banten dalam perang saudara antara Ayah dan Putranya yang didukung penuh oleh VOC. Meski Sultan Ageng Tirtayasa telah menyerahkan diri atas permohonan putranya Sultan Haji agar ayahnya kembali ke istana, tapi Syekh Yusuf dan orang2 Makasar lainnya memilih tetap bertahan sambil bergerilya ke daerah2 pegunungan di Jawa Barat. Mereka membagi beberapa kelompok, sebagian ada yang terus bergerilya sampai ke daerah Tasikmalaya dan Cirebon. Sebagiannya lagi ada yang tetap bertahan di garis tapal batas Kesultanan Banten di Bogor.

Menurut Abu Hamid, guru besar Ilmu Sosial dan Politik dari Universitas Hasanuddin Makassar yang menulis tentang perjuangan Syekh Yusuf, mengatakan, Syekh Yusuf berlindung di sebuah tempat bernama Karang atau Aji Karang di Sukapura. Sukapura adalah nama lain sebelum menjadi Tasikmalaya. Apa yang disebut Karang oleh Abu Hamid, tidak lain adalah Karangnunggal. Di situ terdapat kompleks Pamijahan dan Gua Safar wadi, tempat Syekh Abdul Muhyi, penyebar Islam di Tasikmalaya, mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Di sana juga, untuk beberapa waktu Syekh Yusuf berlindung sambil menyusun kekuatan hingga akhirnya beliau menyerahkan diri kepada VOC dikarenakan terbersit kabar jika sahabat mudanya Pangeran Surya atau Sultan Ageng Tirtayasa telah tertipu dan di asingkan ke Batavia .

Sementara orang-orang Makasar yg masih tetap bertahan di garis batas kesultanan Banten di Bogor tetap berjuang dan membaur dengan masyarakat setempat sampai akhir hayat mereka menjemput...

T A M A T

Wallahu a'lam bishawab
Semoga manfaat

Padepokan Roemah Boemi Pamoelang
9 Juni 2022

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online