Mengintip Komunitas Etnis Tiong Hoa Pamulang

Mengintip Komunitas Etnis Tiong Hoa Pamulang

Detaktangsel.com, OPINI -- Sejak kapan masuk dan berkembangnya etnis Tiong Hoa di Pamulang masih beragam pendapat. Ada yang beranggapan orang-orang Tiong Hoa pertama kali menginjakkan kakinya di Pamulang seiring dengan meletusnya trgedy berdarah di pagi buta tahun 1740 di Batavia. Dimana etnis Tiong Hoa saat itu diterpa isyu bahwa ratusan lebih orang Tiong Hoa yang dideportasi pemerintah Belanda ke Srilangka akibat ledakan penduduk yang tak terbendung, dibuang ke laut.

Entah siapa yang meracik fitnah tersebut sehingga membuat sejumlah orang2 Tiong Hoa melengkapi diri dengan persenjataan. Walhasil, situasi tidak terkendali. Pembakaran gedung-gedung serta rumah-rumah warga Tiong Hoa dilakukan secara tidak manusiawi oleh Pemerintah Belanda. Mereka menembaki siapa saja warga Tiong Hoa, lelaki, perempuan, anak-anak, maupun orang tua secara membabi buta. *(Willard A. Hana, Hikayat Jakarta).

Dalam situasi yang sangat kacau balau tersebutlah yang kemudian menyebabkan banyak warga Tiong Hoa lari dan bersembunyi di wilayah pinggiran-pinggiran Batavia seperti di kawasan Gunung Sindur, Rawa Kalong, termasuk Pamulang dan sekitarnya.
Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil yang terdiri dari keluarga dan kerabat dekat lalu setiap komunitas dikepalai oleh seorang Cina berpangkat letnan. Umumnya mereka hidup sebagai petani, pedagang dan buru kasar pada perkebunan-perkebunan pemerintah dan swasta.

Sebagian lagi ada yang mengatakan jika orang2 Tiong Hoa masuk ke Pamulang seiring masuk dan berkembangnya agama Islam yang di bawah oleh Ki Rebo dan Ki Saderan pada akhir abad ke 18. Mereka  pertama kali menginjakkan kakinya di Pamulang saat dibukanya sistim tanah partikulier oleh pemerintah Belanda di Pamulang lalu menamakan lahan baru tersebut dengan, Pamoelang of Benda. (Het Regt. Nederlandsch Indie. 1877. Statistiek der Assistien Residentie Buitenzorg 1861).

Menurut sumber kontemporer komunitas etnis Tiong Hoa Pamulang berangkat pada tiga Marga besar. Marga tersebut terdiri dari : Gouw, Tjiam, dan Lay. Mereka tersebar di beberapa dusun wilayah Pamoelang of Pondok Benda seperti Tjileduk, Pondok Salak, Pondok Banda Koelon, Pondok Banda Tagal, dan Kadaong. (Partuculiere Landerijen Buitenzorg. 1870.hal.446)

Dengan melihat marga di atas, tidak diragukan lagi bahwa komunitas Tiong Hoa di Pamulang adalah merupakan bagian dari keluarga Pamulang itu sendiri sejak jaman dahulu. Mereka dapat membaur di tengah komunitas masyarakat Pamulang yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan ada sebagian dari mereka yang sudah memeluk agama Islam itu sendiri.

Menurut Tjiam Un Lay (57) yang merupakan generasi ke 4 warga Tiong Hoa Pamulang dari marga Tjiam, leluhurnya masuk ke wilayah Pamulang diperkirakan pada tahun 1880an dan meninggal di Pamulang pada tahun 1911. Lokasi makamnya sekarang terletak di ruas Jalan Ketapang 3 (ruko Reni Jaya).

Lelaki yang akrab di sapa dengan Uun ini juga menjelaskan jika kakek buyutnya, Tjiam Han datang langsung dari Cina ke Pamulang melalui usaha perdagangan, dan sekarang cucu dan keturunannya sudah mencapai tujuh generasi.

Leluhurnya membuka usaha perdagangan tembakau di Pamulang dengan mengambil stok barang dagangannya di kawasan Glodok lalu menjualnya ke masyarakat Pamulang dan sekitarnya. Selain usaha tembakau kakeknya juga menjual kebutuhan-kebutuhan pokok lainya semisal ikan asin, beras, minyak, pakaian.dan perabot rumah tangga lainnya.

Jika melihat fakta di atas dapat dipastikan jika komunitas Tiong Hoa di Pamulang bukanlah baru seumur jagung. Mereka punya andil yang cukup banyak dalam pengembangan ekonomi warga. Mereka datang dari jauh bahkan ada yang datang dari negeri asalnya langsung. Mereka membuka warung dan kedai-kedai kecil sambil bercocok tanam.

Komunitas mereka pun menyebar hampir keseluruh kawassan selatan Jakarta termasuk Gunung Sindur. Di daerah Gunung Sindur inilah pertama kali mereka mendirikan, Litang *(tempat peribadatan umat Khonghucu). Segala bentuk aktifitas peribadatan mereka berpusat di wilayah tersebut. Jika perayaan Imlek tiba, berbondong-bondong warga Tiong Hoa Pamulang berjalan kaki menuju Gunung Sindur untuk melaksanakan ibadat.

Sistim pendekatan mereka yang terbuka membuat warga Muslim Pamulang, menerima mereka sebagai bagian dari keluarganya. Bahkan profesi dari kakek buyut mereka yang sebagai pedagang ini terus diwarisi oleh cucu keturunannya hingga saat ini di Pamulang. Ada yang menjadi pengusaha property, developer perumahan, ada juga yang membuka toko sepeda, toko sembako, sampai ke dealer mobil.

Menurut Nenek Nelly (83), bermain, mencari makan, dan berangkat sekolah bersama-sama dengan warga pribumi bukanlah pemandangan yang baru lagi. Hal itu menurutnya sudah sistim kekeluargaan yang mereka bangun bersama-sama dengan pribumi guna mempertahankan budaya saling menghormati sejak pertama kali leluhurnya masuk ke Pamulang dua abat yang lalu.

Yang lebih menarik lagi, enam belas tahun yang lalu ketika saya mendatangi rumah nenek tersebut di Jalan Surya Kencana, sungguh diluar dugaan ternyata nenek yang mempunyai nama asli Set Nyo ini berbusana kebaya laiknya wanita-wanita Melayu jaman dahulu. Tuturnya pun hampir tak ada kesan kalau beliau berdarah asli Tiong Hoa.

Dengan gaya khas Betawi medok nenek yang sudah banyak melahirkan keturunan di Pamulang ini bertutur. Menurutnya ia sangat sedih melihat keberadaan komunitas Tiong Hoa dan Pribumi di Pamulang dewasa kini. Terkesan saling mencurigai satu sama lain tanpa pernah mencari jalan keluar bagaimana untuk bisa satu kembali seperti dulu-dulu.

Ditambah lagi banyaknya warga pendatang baru Tiong Hoa dari Medan dan Kalimantan yang tidak mengenal sejarah keberadaan warga Tiong Hoa di Pamulang dan enggan membuka diri dengan pribumi. Semakin membuka lebar jalan kesenjangan sosial antara etnis Tiong Hoa dengan warga pribumi. Padahal menurutnya, dahulu jika perayaan Imlek tiba, banyak warga pribumi Pamulang yang mendatangi rumah mereka tanpa sungkan. Saling bertukar kebahagian dan berbagi rejeki antar sesama. Pokoknya rame dah! tuturnya dengan mata menerawang. Semoga ke depannya situasi yang seperti dulu-dulu itu bisa tercipta kembali di Pamulang. Tutup Nenek Nelly sore itu dengan segera bergegas hendak mandi.

Yah, warga Tiong Hoa Pamulang sekarang sangat bersukur. Aktifitas perdagangan mereka berjalan lancar, kegiatan peribadahan mereka pun tetap terjaga. Apalagi dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur Nasional oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Kepres No. 6 Tahun 2000, maka semakin lengkaplah letupan kegembiraan warga etnis Tiong Hoa di manapun berada, termasuk Pamulang. Mereka tidak perlu lagi merayakan Imlek secara diam diam di rumah atau pergi berjalan kaki ke Gunung Sindur menuju Litang seperti jaman dahulu. Kini mereka dapat merayakan di mana saja tanpa tekanan apa apa.

Kita berharap bersama semoga dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur Nasional dapat menata kembali rasa persaudaraan senasib, sebangsa guna bersama-sama membangun roda perekonomian bangsa menuju Indonesia satu dan Pamulang bersaudara. (*)

Wallahu a'lam bishawab
Semoga manfaat

Ilustrasi: photo ibu-ibu Tiong Hoa Pamulang tahun 1938
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

"Padepokan Roemah Boemi Pamoelang"
20 Oktober 2020

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online