Kesusastraan Tertua di Tanah Air Ternyata Ada di Sulawesi

Kesusastraan Tertua di Tanah Air Ternyata Ada di Sulawesi

detaktangsel.com -- Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi sahabat yg budiman!

Taukah kawan jika karya sastra tertua di tanah air kita ini berasal dari Sulawesi Selatan, tepatnya suku Bugis? Sebuah karya sastra yang sangat sakral bagi orang Bugis dan sampai sekarang masih menjadi pedoman bagi masyarakatnya dalam mengambil atau memutuskan segala macam persoalan hidup. Bahkan tak dapat disangkal jika hampir semua wilayah taklukan Kerajaan Bugis/Luwu mempengaruhi mitologi (cerita rakyat) kerajaan-kerajaan bawahannya yang berada di wilayah Sulawesi Tengah. Seperti Sigi,Tojo, Una-Una, Mori, Bada, Napu, Ondae, Pebato, Lamusa, Pamona, dll. Sebagaiman yang ditulis Nicolaas Adriani bersama Cruyt dalam beberapa catatan hariannya mengenai suku-suku yang ada di wilayah Sulawesi Tengah dan sebagian wilayah Sulawesi Selatan (Toraja) yang memiliki kemiripan yang sama dalam cerita rakyatnya khususnya orang yang datang dari kayangan (To Manuru).

" I La Galigo". Yah, dialah karya sastra adiluhung bangsa kita yang di tulis dengan 300.000 baris. Kitab I La Galigo sendiri terdiri dari dua puluh tiga jilid, dengan satu juta suku kata dan merupakan buku sastra jenis epos yang terpanjang di dunia pada zamannya.

Sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis Kuno. Ditulis di antara abad ke-13 dalam bentuk puisi berbahasa Bugis Kuno dan ditulis di atas daun lontara. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan menceritakan kisah asal usul manusia. Epik dalam masyarakat Bugis, sebagian besar melalui tradisi lisan dan dinyanyikan pada kesempatan acara2 adat kebudayaan. Bahkan ada dugaan pula jika epik ini lebih tua dan ditulis sebelum, Mahabarata dari India.

Epos I La Galigo yang telah menjadi salah satu Memori Dunia yang tercatat di UNESCO Memory of the World Register. UNESCO adalah salah satu lembaga di bawah naungan PBB mempunyai program yang disebut UNESCO Memory of the World Register yang dimulai pada tahun 1992. Kegiatan ini adalah bentuk kepedulian dunia untuk menjaga warisan berupa hasil-hasil dokumenter terhadap kerusakan baik sengaja atau pun tidak disengaja oleh manusia atau pun rusak karena pengaruh bencana, iklim dan cuaca. Kegiatan ini melestarikan dan mempromosikan warisan berupa peninggalan dari hasil dokumenter dari masa lalu, yang dapat menjadi dokumen dianggap penting dalam sejarah umat manusia. Sebuah permata indah dari bagian timur Indonesia telah menjadi milik dunia.

Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.

Karya sastra tidak hanya dinikmati sebagai bentuk dialektik antara teks dengan pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga menjadi bagian penyampaian kondisi sebuah masyarakat di masa lampau dengan perubahan dari pertemuan kebudayaan.

Inilah yang tercermin dalam La Galigo, salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13 yang saat ini menjadi kitab sakral Bugis. Dari naskah La Galigo ini bisa diketahui kondisi masa-masa awal masuknya Islam di tanah Bugis.

Sastra La Galigo, tidak hanya dinikmati sebagai sastra, tapi juga sebagai sarana Islamisasi bagi orang Bugis, kata Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanudin Andi Muhammad Akhmar, dalam ujian terbuka promosi doktornya dengan judul "Islamisasi Bugis" di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (6/6).

Dirinya menjelaskan, islamisasi yang memanfaatkan sastra ini dilakukan tanpa menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis. Namun, menyesuaikan unsur Islam dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik.

Sebelum menerima agama Islam, orang Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah kepercayaan kuno yakni kepercayaan terhadapDewata Seuwae (Tuhan Yang Tunggal). Orang Bugis biasa menyebutnya, Dewata Sisinae. Bahkan sisa-sisa kepercayaan terhadap Dewata Seuwae ini dapat dilihat pada masyarakat, To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang, kata Akhmar.

Dewa-dewa dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Tapi seiiring masuknya islam dari Asia Barat, menggeser kepercayaan Dewata Sisinae dengan konsep Allah Subhanahu Wa Taala, melalui ajaran-ajaran tauhid.

Pengucapan doa-doa dan ayat Al-quran pun juga disesuaikan pengucapan bahasa Bugis. Dalam praktik ibadah seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai bagian mantra Bugis. Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Bugis.

Hingga kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang tetap terus d jaga kelestariannya hingga k anak cucunya. Bahkan kini, La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat.

Demikian sekelumit mengenai kesusastraan tanah air yang bisa saya bagi pada kawan2.

Semoga bermanfaat.

Nun walqolami wama yasturun
Wassalam

Padepokan Roemah Boemi Pamulang
22 Januari 2021

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online