Print this page

Bagaimana Menjadi Seorang Penulis Sejarah

Bagaimana Menjadi Seorang Penulis Sejarah

Detaktangsel.com, OPINI -- Belajar menulis dan membaca sejarah tidak bisa hanya dimaknai secara deduktif. Sejarah berkaitan erat dengan sebuah tragedy. Baik itu kemanusian maupun rasio sosio politik. Untuk itu kita harus cermat mendulangnya dalam kerangka nalar imajiner kita. Karna semua yang tertulis dalam sejarah erat kaitannya dengan kepentingan individu dan golongan.

Maka yang dibutuhkan oleh nalar kita adalah mecermati setiap kejadian/tragedy melalui pendekatan filosofis yang erat kaitannya dengan apa dan bagaimana peristiwa tersebut bisa lahir. Tidak lantas mengutip mentah2 apa yang diwariskan melalui tradisi lisan dan tulisan semata. Semisal tulisan si A menulisnya begini. Tulisan si B mengatakan begitu. Lalu kita berdebat dengan hal2 yang kontekstual. Mempertahankan sesuatu yang absurd lalu kemudian menyugugkannya sebagai jamuan yang basih. Padahal nalar kita masih menyimpan cadangan yang cukup besar untuk melahirkan energi tambahan sebagai pembanding dari semua catatan2 atau tradisi lisan dan tulisan  tersebut. Benar apa tidak yang tertulis dalam catatan yang perna kita baca. Dalam ucapan yang perna kita dengar.

Sayangnya tanpa disadari banyak para penulis terjebak dengan metodelogi copy paste dalam merumuskan setiap kejadian/tragedy sejarah masa lalu. Siapa mereka yang saya maksud. Mereka yang selalu bergantung dengan catatan tradisi lisan dan tulisan semata tanpa perna mau mencermati apa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut lahir. Kita seakan enggan membantah sebuah catatan masa lalu. Menjadikannya seolah2 Kitab Suci yang turun dari langit dan menjadi hukum mutlak bagi generasi sesudahnya untuk dipelajari dan diimani.

Ini sangat fatal bagi saya. Padahal setiap penulis memiliki sudut pandang dan eterprestasi tersendiri dalam melihat tragedy/kejadian masa lalu.

Saya ambil contoh misalnya: Pada Lukisan Perang Jawa, November 1825 atau yg kita kenal dengan, Perang Diponegoro. Nicolaas Pieneman melukis Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock, tahun 1835 atas permintaan dari De Kock. Dalam lukisan tersebut terlihat ekspresi Diponegoro sbg seorang pria pemarah dan keras, Pieneman menampilkan seorang Diponegoro yang penurut dan terpukul, berdiri lebih rendah ketimbang penangkapnya, dan secara simbolik kurang memiliki kekuatan.

Namun pada tahun 1857, maestro lukisan Indonesia, Raden Saleh menggambar kembali peristiwa tersebut dengan angel yang berbeda. Raden Saleh menggambarkan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830 mengenakan sebuah serban hijau, jubah putih dan celana, serta sebuah jaket; menggunakan sebuah ikat pinggang emas, memegang tasbih, dan mengalungkan punggungnya dengan syal. Tampak sedang menahan amarahnya – sebagai sebuah tindakan lazim dari seorang Priyayi yang terlihat tetap tegar meski dalam kondisi tertawan.

Apa hikmah yg bisa kita petik dari sejarah lukisan Diponegoro tersebut?Sejarah tak selamanya berbanding lurus dengan kenyataan. Itu artinya dibutuhkan kecermatan kita dalam merumuskan setiap filosofi peristiwa yang terjadi di masa lalu dengan menggunakan kekuatan intuisi dan nalar kita agar mampu merumuskan kejadiaan yang sesungguhnya dengan objektif lalu kembali menyuguhkan kepada generasi kita sebagai karya adiluhung generasi milinea...alias tidak copy paste semata.

Maka pada akhir tulisan saya ini, saya ingin mengatakan bahwa menulis Sejarah itu seperti kita sedang menulis sebuah Karya Sastra. Harus dengan instrumen yang santai. Tak perlu tegang apalagi kaku. Kita sedang menghibur orang dengan karya tulisan kita. Bukan sedang mengajari orang dalam menyelesaikan Skripsi atau Desertasi.

Sejarah tak harus menulis kata sublim untuk dibaca sebagai yang sublim. Ia tak harus verbal dan melayani. Ia tak harus selesai dan happy ending. Yang terpenting dapat membiasakan diri merekam kisah atau pemikiran dalam bidang penulisan dan kajian sejarah tanah air, khususnya generasi milinea di Kota Tangerang Selatan. Itu saja kuncinya. Tapi tentu juga semua analisis sejarah harus berangkat dari komparasi data tradisi lisan dan tulisan. Biar apa? Biar sebelum hasil tulisan kita terbang ke mulut2 dan ingatan pembaca dengan baik, kita telah menginkubasinya dalam kajian yang panjang dan terlatih.

Wallahu a'lam bishawab
Semoga Manfaat

Padepokan Roemah Boemi Pamulang
19 Februari 2021

Oleh: Agam Pamungkas Lubah