Persekusi dan Hate Speech Merupakan Tindakan Melanggar Hukum

Persekusi dan Hate Speech Merupakan Tindakan Melanggar Hukum

detaktangsel.com Perbincangan tentang persekusi telah menjadi berita yang hangat, tidak hanya di media sosial (medsos) tetapi juga di televisi. Hampir semua pihak membicarakan persekusi. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun telah menginstruksikan kepada Kapolri untuk mengambil tindakan hukum terhadap praktik persekusi di masyarakat.

Kita perlu memahami apa arti persekusi itu. Semula, istilah persekusi saya kira berasal dari bahasa Inggris, persecution yang berarti penganiayaan; atau merupakan perpaduan dari dua kata dalam bahasa Inggris, yaitu per se berarti sendiri dan execution berarti pelaksanaan, menjadi persekusi yang berarti melaksanakan sendiri.

Namun, setelah saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) melalui daring (on-lines),tercantum istilah persekusi yang berarti pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sedangkan, memerkusi berarti menyiksa, menganiaya: tanpa memikirkan lagi keadilan atau kemanusiaan.

Berdasarkan pengertian itu, maka bisa dimaklumi jika persekusi dikecam oleh berbagai pihak. Dalam prakteknya, persekusi berkaitan dengan penggunaan media sosial (social media) untuk menyampaikan pendapat yang merupakan ujaran kebencian (hate speech) terhadap seseorang sehingga mendorong teman-teman, kelompok, atau pengagumnya untuk melakukan pemburuan secara sewenang-wenang.

Menurut pengamatan saya, persekusi merupakan reaksi terhadap pernyataan seseorang yang diunggah di medsos. Dengan demikian, persekusi merupakan dampak atau ekses dari penggunaan gawai (gadget).

Dewasa ini, penggunaan gadget dalam hal ini handphone sudah menjadi gaya hidup. Melalui medsos, setiap orang dapat menyampaikan pikiran, pendapat, komentar, kritik. Tidak hanya berupa tulisan tetapi juga disertai gambar yang sudah direkayasa. Informasi apapun bisa dikemas dengan menarik yang bisa berupa berita palsu/bohong (hoax) atau memuat ujaran kebencian.

Setiap orang secara psikologis ingin diakui keberadaannya (exist) oleh kelompoknya dalam grup medsosnya, sehingga mendorongnya untuk selalu memberi informasi, memasang (posting) gambar, atau hanya sekedar menyalin informasi dari sumber lain.

Jadi, sesungguhnya bukan hanya tindakan persekusi yang bisa merugikan, tetapi juga ujaran kebencian yang mengawalinya. Maka, untuk menanggulangi persekusi harus dihentikan perilaku mencaci, menghina, mencemarkan nama baik seseorang, atau melakukan penyebaran ujaran kebencianmelalui medsos.

Persoalannya, perilaku yang buruk dalam menggunakan sarana medsos sudah menjadi gejala umum di masyarakat. Gejala ini dialami oleh hampir setiap orang dari berbagai latar belakang pendidikan atau profesi. Bagi sebagian orang, medsos digunakan sebagai sarana untuk aktualisasi diri.

Ada pula yang menggunakan medsos sebagai sarana untuk kampanye dalam proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Terjadi seperti "perang opini" dari tim sukses masing-masing calon yang dilakukan secara terbuka melalui medsos. Padahal, setiap orang yang berada dalam jaringan (on-lines) dapat membacanya. Situasi ini mengundang empati atau emosi sehingga terpengaruh dan ikut dalam suasana itu, kemudian menyebarkannya ke grup medsos lain.

Proses penyebaran ujaran kebencian itu ada yang dirancang secara terstruktur, sistematis, dan massif karena memang dirancang untuk kampanye dan sekaligus menyerang mereka yang berbeda pendapat atau berbeda pilihan. Situasi itu berlangsung cukup lama yaitu selama proses pemilukada, sedangkan ditinjau dari intensitasnya bisa sangat tinggi karena ada isu-isu yang selalu digulirkan. Suasana gaduh di medsos telah mempengaruhi perilaku yang tidak rasional karena tidak bisa membedakan antara berita yang benar atau bohong.

Setelah proses pemilukada berakhir, kegaduhan di medsos tidak kunjung usai karena masih ada yang melakukan perilaku seperti itu, sehingga masih saja mucul ujaran kebencian dan berita bohong di medsos. Padahal, pemilukada sudah selesai dan masing-masing tim sukses sudah berakhir. Ekses dari kampanye melalui medsos sudah beralih dari isu-isu kampanye, menjadi isu lain sesuai dengan selera dari pembuat ujaran kebencian.

Dalam situasi seperti itu, muncul tindakan persekusi yang tidak dilakukan oleh orang-orang yang jelas, tetapi oleh kelompok yang memiliki kesamaan perasaan terhadap seseorang sehingga menimbulkan dorongan atau motivasi untuk melakukan pemburuan yang sewenang-wenang terhadap orang tertentu yang dianggap telah menyebarkan ujaran kebencian.

Dengan demikian, persekusi merupakan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang berlebihan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan melakukan pemburuan secara sewenang-wenang dan bahkan melakukan kekerasan dan penganiayaan.

Tindakan seperti itu, ditinjau secara yuridis, merupakan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigheid) sehingga persekusi dapat dikenakan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain ketentuan tentang penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP atau pengeroyokan yang diatur dalamPasal 170 KUHP.

Pasal 351 KUHP tidak memberikan rumusan tentang arti penganiayaan, tetapi dirumuskan sebagai tindak pidana (delict) materiel yang dikaitkan dengan akibat yang muncul dari penganiayaan, seperti luka berat atau kematian. Menurut yurisprudensi, penganiayaan pada taraf yang paling rendah bisa berupa tindakan sengaja yang menyebabkan perasaan tidak enak, penderitaan, rasa sakit, atau luka.

Persekusi bisa dilakukan secara bersama-sama di muka umum. Tindakan semacam ini menurut Pasal 170 KUHP bisa diartikan sebagai tindakan pengeroyokan yang merupakan suatu tujuan, bukan merupakan cara untuk mencapai sesuatu. Melakukan kekerasan dalam hal ini adalah menggunakan tenaga sehingga seseorang menjadi tidak berdaya, luka, atau merusak barang.

Sedangkan, terhadap tindakan berupa penyebaran ujaran kebencian dapat diancam pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Dalam Pasal 28 UU ITE 11/2008 diatur tentang penyebaran berita bohong dan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

Ujaran kebencian dan persekusi merupakan perbuatan yang tidak hanya mengganggu tetapi juga merusak hubungan sosial. Setiap orang harusnya bijak dalam menggunakan media sosialnya, agar tidak menyebarkan ujaran kebencian dan jika terjadi, tidak perlu bertindak sendiri, tetapi cukup melaporkannya kepada kepolisian.

Penulis: Rasyid Hidayat, SH
Praktisi hukum, tinggal di Tangerang

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online