Yang Lain Bersandiwara, Saya Apa Adanya

Yang Lain Bersandiwara, Saya Apa Adanya

detaktangsel.com- OPINI, Lama juga tidak ketemu Febuar Rahman yang biasa kupanggil Kak Feb. Aku menyempatkan diri ngobrol via dunia maya (dumay) facebook sejak Kak Feb nyaleg DPR RI nomor urut 2 dari PKPI untuk Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Sumatera Selatan yang meliputi Palembang, Banyuasin, Musi Banyuasin, Musirawas, Muratara, dan Lubuklinggau.

'Yang lain bersandiwara, saya apa adanya', adalah motto perjuangan Kak Feb. Itu hasil perenungan yang panjang. Karena caleg satu memang apa adanya. Tidak heran Kak Feb sering membedah potensi nilai dan kearifan budaya lokal secara historis. Karena hal ini telah mendasari pola hubungan antara rakyat dan pemimpin.

Hubungan yang memberi legitimasi ternyata makin kehilangan kekuatan di tengah-tengah menguatnya proses unifikasi hukum yang didiktekan kepentingan kekuasaan. Sementara pusat selalu tampil sebagai rujukan sumber kemajuan dan keberadaban.

Padahal yang terjadi sebenarnya adalah praktik hegemoni budaya yang mengonstruksikan dan memosisikan wilayah lokal sebagai arena eksploitasi secara politik, ekonomi, dan budaya demi kepentingan rezim pusat.

Kak Feb selalu menyoroti eksistensi masyarakat adat mengalami proses marjinalisasi akibat modernisasi dan kapitalisasi yang dimotori kekuatan negara dan pasar. Karena negara dan kekuatan modal bertindak sebagai komparator yang memisahkan keterpaduan antara komunitas adat dan alam lingkungan. Sehingga melahirkan bentuk-bentuk tradisi dan sistem kepercayaan serta sesuatu yang menjadi mata pencahariannya.

Misalnya, antara hutan dan komunitas adat di dalamnya adalah kesatuan yang melahirkan energi saling tumbuh dan memberikan ruang akan hak hidup. Penebangan hutan selalu disertai dengan adanya penanaman kembali (reboisasi). Penebangan hutan bukan pula berorientasi pada nafsu ketamakan untuk mencapai kekayaan.

Sikap ini memunculkan kearifan lokal untuk selalu menjaga harmoni dengan alam. Namun negara, terutama yang tercermin sebagai kekuatan pusat-nasional, mencengkeram dan mengurasnya sampai memunculkan kerusakan ekologis yang berakibat pula pada keterasingan komunitas-komunitas adat di dalam lingkungan budayanya sendiri.

Masyarakat adat kehilangan akses dan kontrol terhadap dinamika alam lingkungannya. Kondisi ini sudah menjadi fakta sosiologis-antropologis bahwa adanya kemajemukan atau keragamaan kepulauan sebagai fondasi dari kebangsaan Indonesia di dalamnya menyimpan pluralisme etnik-suku, agama, bahasa, tradisi dan adat istiadat.

Kak Feb pun nyaleg tidak sekadar ingin menjadi wakil rakyat, Justru ia mnejadi napas rakyat untuk mengembalikan hak-haknya.

Kesadaran pluralisme dan toleransi di kalangan masyarakat adat benar-benar dirusak oleh penguasa-negara. Sehingga dalam kompleksitas permasalahan yang sedang dihadapi dari adanya ketegangan dan kekerasan yang menimpa atasnya.

Situasi ini seringkali memunculkan kesadaran kritis di kalangan mereka melalui berbagai macam protes sebagai bentuk resistensi yang tidak jarang diwarnai pula dengan tindakan kekerasan, baik terhadap aparatus dan simbol-simbol negara, ataupun kelompok sosial di luar komunitas adat yang dianggap sebagai etnik yang merepresentasi sosok kekuasaan.

Karena itu, ketika Orde Baru mengalami kehancuran, ledakan keras berupa benturan, konflik dan kekerasan baik yang bersifat vertikal dan horisontal mewarnai dinamika masyarakat adat.

Momentum pelaksanaan otonomi daerah dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menghadirkan kembali tradisi-adat yang puluhan tahun (hampir/sudah) punah, dan seringkali tanpa disertai dengan upaya kontektualitas akan kandungan substansi dengan adanya perubahan zaman.

Bahkan tidak jarang pula wacana otonomi daerah menghadirkan semangat otoritarianisme etnik atau agama terhadap kelompok warga yang minoritas dari segi kuantitas.

Meminjam pendapat DR Arif Budi Wurianto bahwa kebudayaan ibarat sebuah tenda yang menaungi berbagai aspek kehidupan manusia. Semakin tinggi dan luas tenda, semakin sehat aspek-aspek kehidupan yang berada di bawahnya, karena terbuka ruang lapang untuk mudah bergerak.

Sebaliknya semakin sempit dan rendah tenda yang menaungi membuat berbagai aspek yang dalam naungannya semakin sempit, pengap dan tidak ada ruang gerak. Hal ini berlaku untuk semua aspek kebudayaan seperti sistem kepercayaan dan religiusitas, kesenian, bahasa, organisasi sosial politik, sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi, matapencaharian, dan pendidikan.

Sementara caleg asal PKPI ini mengajukan unsur pokok kebudayaan yang meliputi sistem normatif yaitu sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat agar dapat menguasai alam di sekelilingnya. Di samping itu, organisasi ekonomi.

dan lembaga-lembaga atau petugas untuk pendidikan dan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama
Multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk. Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Kebudayaan tidak hidup dan berkembang dalam ruang kosong. Budaya adalah hasil kreasi suatu masyarakat yang ditujukan kepada kepentingan kehidupan masyarakat tersebut agar tetap eksis dan berkembang. Kreasi kebudayaan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan itu.

Saya sempat mendiskusikan dengan Kak Feb soal motto 'Yang lain bersandiwara, saya apa adanya' ini. Makanya, saya mengacungi jempol caleg ini sangat cerdas dalam mengapresiasiakan permasalahan yang sangat mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Alasan itu mendorong Kak Feb menyaleg. Ia ingin menjadi napas rakyat Sumatera Selatan, terutama di daerah pemilihannya. Doa pun mengalir dari bibirku, moga saudaraku ini benar-benar diridhoi menjadi napas rakyat.

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online