Hubungan Kekerabatan Jawa, Sumbagsel, Dan Tionghoa Sangat Kuat

Hubungan Kekerabatan Jawa, Sumbagsel, Dan Tionghoa Sangat Kuat

detak.co.id- LEMATANG, Hubungan kekerabatan antara suku Jawa, Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), dan Tionghoa ternyata terjalin sejak zaman bahula. Bukti itu menguat bila menelusuri tapak tilas sejarah tersebut.

Berdasarkan hasil penelusuran detak.co.id di lapangan, Minggu (16/2), menunjukkan terdapat jejak yang memperkuat adanya bukti tersebut. Adalah cerita mencari warga Tionghoa di Sungai Lematang yang merujuk pada munculnya asal usul nama Sungai Lematang. Dan, kedatangan salah seorang wali bernama Raden Patah.
Utusan dari Kerajaan Demak yang menyebarkan agama Islam. Raden Patah bersama Komala Dewa datang pada 1508. Ia didampingi Ario Tabing, Saleh Hubung, ahli agama Islam Kyai Joko, serta hulubalang. Bahkan, disertai ahli pertanian dan pertukangan.
Mereka tiba di Palembang Ulu istilah Kota Lahat dulu. Perjalanan mereka melalui jalan air Batanghari. Kemudia menetap di sebuah daerah yang bernama Pagar Batu.

Sebelumnya Raden Patah bersama rombongan sempat tinggal di Palembang pada 1507. Selama berada membangun sebuah Kerajaan Islam. Daerah Pagar Batu semula bernama daerah Pagar Emas. Tempatnya persis di atas tanah yang telah didirikan masjid.
Dinamakan Pagar Emas, karena dulunya di sekitar areal masjid tersebut dibuat pagar yang terbuat dari emas. Karena ada kendala bahan emas, pagar tersebut diganti dengan bahan dari bebatuan. Sehingga nama daerah pun berubah menjadi Desa Pagar Batu.
Raden Patah sendiri merupakan salah satu dari dua putra Putri Campa, gadis Palembang. Gadis berdarah Tionghoa ini dipersunting Pangeran Kartabumi, Raja terakhir Majapahit yang bergelar Prabu Brawijaya V, Pangeran Mataram.

Raden Patah merupakan sebutan dari Raden Hasan dan mendapat gelar Sultan Syah Alam Akbar AI-Fatah dengan sebutan Raden Patah. Putra satunya lagi bernama Husain hasil dari pernikahannya Putri Campa dengan Adipati Aryodillah atau Adipati Aryo Damar. Aryodillah nama Aryo Damar usai memeluk Islam.
Pada perjalanannya ke daerah Pagar Emas, Raden Patah melalui jalan air, Batanghari. Semula warga di sekitar sungai itu menyebut sungai adalah laut. Karena luas Sungai Batanghari yang menuju daerah Pagar Emas saat itu, lebarnya bisa sejauh mata memandang. Namun saat ini Batanghari itu seperti selokan di depan rumah.

Kondisi ini akibat keserakahan orang mengeksploitasi batu dan pasirnya. Kini masyarakat menyebutnya Batanghari yang seperti selokan tersebut Sungai Lematang.

Batanghari yang menuju Pagar Emas mengalir di tengah-tengah sejumlah aliran sungai yang lain di Sumatera Bagian Selatan. Batanghari ini memiliki peran penting dalam jaringan komunikasi dan transportasi dengan daerah Batanghari lainnya. Jumlahnya sembilan Batanghari. Istilah Batanghari saat itu adalah sungai yang lebarnya sejauh mata mamandang. Batanghari itu di antaranya Musi, Lakitan, Rawas, Ogan, Komering, Leko, Semagus, Kelingi, dan Batanghari menuju ke Pagar Emas, Lematang.

Munculnya istilah Batanghari yang menuju ke daerah Pagar Emas itu bernama Sungai Lematang. Asal usul nama ini pada masa Raden Patah menapak tilas melalui jalan air tersebut. Dahulu Sungai Lematang berwarna hijau kebiru-biruan, Saking jernih airnya. Dasar sungai di bagian tepinya tampak penuh dengan lumut dan ikan kecil-kecil.
Sebelum kedatangan Raden Patah, telah terdapat kelompok masyarakat yang bermukim di tepian Batanghari. Mereka berasal dari daerah pesisir dan terdesak oleh pasukan Kerajaan Sriwijaya yang sedang memperluas wilayah jajahannya.
Mereka masuk ke pedalaman melalui Sungai Musi. Kemudia masuk ke aliran Sungai Lematang dan bermukim di tepi sungai dengan membangun rumah menghadap ke sungai.

Pada suatu hari, ketika Raden Patah singgah di sebuah bandar bernama Bandar Jaya. Di wilayah ini Raden Patah bertemu dengan penguasa Bandar bernama Jajang Kawentar. Dia keturunan keluarga Kerajaan Siliwangi yang hijrah bersama beberapa pengawal dan hulubalang.
Jajang Kawentar menikahi putri dari saudagar Tionghoa, Lee Ma Tang. Lee Ma Tang memiliki tiga anak dari perkawinannya dengan Jajang Kawentar.

Ketika mengandung anak ke empat, dia hanyut di Batanghari. Kejadiannya begitu cepat ketika Lee Ma Tang sedang mencuci pakaian anak-anaknya di tepian Batanghari pada pagi hari.
Tiba-tiba air Batanghari membesar, meluap, dan menghanyutkan istri Jajang Kawentar, Lee Ma Tang. Istri yang dicintainya itu tak pernah ditemukan lagi.
Air dari ulu sungai terus meluap dan membesar hingga mencapai ke pemukiman warga. Peristiwa seperti ini seringkali terjadi, terkadang tanpa ada tanda-tanda bakal adanya bah.
Seluruh warga Bandar Jaya turut berduka dan berusaha mencari sampai ke ilir Musi. Namun tetap tak ada tanda-tanda Lee Ma Tang, di mana tersangkutnya.

Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan warga dikerahkan untuk mencari jasad Lee Ma Tang. Tetap tidak ditemukan.
Selama itu pula di rumah Jajang Kawentar dilakukan berdoa supaya Lee Ma Tang bisa kembali atau paling tidak dapat ditemukan jasadnya. Tetap saja nihil.
"Mungkin Allah SWT berkehendak begitu. Sebaiknya kita beri nama Lematang saja Batanghari ini untuk mengenangnya," ujar Raden Patah, usai mendengarkan panjang lebar cerita Jajang Kawentar, mengenai istri tercintanya. Saat perahu Raden Patah berlabuh. (jak)

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online