Netralitas Dan Pilihan Sulit PNS Dalam Pilkada Langsung

ilustrasi ilustrasi

detaktangsel.com PILKADA - Menyaksikan maraknya aksi dukung-mendukung Pilkada langsung di Provinsi Banten ( Kota Tangsel, Kab Pandeglang , Kab Serang dan Kota Cilegon), penulis memperhatikan bahwa pemberitaan media dalam dunia maya serta berbagai artikel via internet sangat banyak dijadikan referensi bagi para pengguna media sosial baik facebook, twitter dll; belum lagi gambar-gambar kreatif dan poster figur serta visi-misi juga alasan dukung - mendukung sangat lazim akhir-akhir ini.

Menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat edaran yang menegaskan seluruh aparatur sipil negara (ASN) harus bersikap netral. Dikutip dari laman Seskab, Minggu 26 Juli 2015, Surat Edaran nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 tersebut dikeluarkan terkait pelaksanaan pendaftaran Pilkda yang tidak lama lagi akan berlangsung.

"Sesuai dengan UU No. 5/2014 tentang ASN, PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan tidak dengan hormat," bunyi Surat Edaran yang ditujukan kepada Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), para Sekjen Lembaga Negara, para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Non Struktural, para Gubernur, Bupati, dan Walikota itu. Surat Edaran itu juga mengingatkan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, Selain PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah.

Untuk menjamin efektivitas surat edaran tersebut, para pimpinan K/L dan Pemda diminta untuk melakukan pengawasan terhadap ASN yang berada di lingkungan instansi masing-masing. Jika ada yang melakukan pelanggaran, langsung dicatat dalam berita acara.

Selain menjaga netralitas dalam pilkada, dalam Surat Edara Menteri PAN-RB itu juga ditegaskan, bahwa aset pemerintah dilarang dipergunakan untuk kampanye. Kendaraan dinas, ruang rapat, dan perlengkapan kantor tidak boleh digunakan untuk kegiatan politik.

ASN atau PNS dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, dan atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu, sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan ini meliputi kegiatan pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluaga, dan masyarakat.

Menyaksikan maraknya aksi dukung-mendukung Pilkada langsung di Provinsi Banten ( Kota Tangsel, Kab Pandeglang , Kab Serang dan Kota Cilegon) , penulis memperhatikan bahwa pemberitaan media dalam dunia maya serta berbagai artikel via internet sangat banyak dijadikan referensi bagi para pengguna media sosial baik facebook, twitter dll; belum lagi gambar-gambar kreatif dan poster figur serta visi-misi juga alasan dukung-mendukung sangat lazim akhir-akhir ini.

Tahun ini adalah tahun politik dan rakyat Banten sedang berpesta 5 tahunan. Kehadiran para tim sukses di jagat maya seakan melengkapi kemeriahan pesta 2015. Hampir setiap warga yang memiliki akses informasi dan internet, tergoda untuk berpartisipasi.

Kita bersyukur untuk itu dan semoga gejala ini akan membawa tidak saja menjadi negara yang maju tetapi juga membawa masyarakat untuk berpola pemikiran modern yang sanggup menerima perbedaan. Ditengah rasa bangga atas kemajuan terhadap peran warga negara yang semakin luas dalam kontribusi politiknya, penulis mencermati terdapat bahaya kecil mengancam bagi sebagian pengguna sosmed yaitu mereka yang berprofesi sebagai PNS atau ASN.

Serbuan informasi yang tak henti-hentinya seakan menjebol dan membuka ruang kekang para PNS untuk juga terlibat dalam pesta ini. Banyak saudara-saudara warga negara pengguna sosmed yang notabene dengan latar belakang pemerintahan (secara jelas mencantumkan ID lengkap) turut serta dalam aksi dukung-mendukung dalam jagat maya.

Kedudukan PNS adalah "NETRAL"

"Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik."

Demikian penggalan Penjelasan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara diawali dengan dasar politik (keinginan) hukum negara terhadap cita-cita bangsa atas aparaturnya yaitu PNS dan saat ini bernama ASN. Penjelasan ini menjadi dasar filosofi sekaligus yuridis terhadap keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU tersebut.

Penjelasan Pasal 2 Huruf f juga menyatakan "Yang dimaksud dengan "asas netralitas" adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
PNS yang merupakan ASN selain TNI dan POLRI merupakan "Abdi Negara" yang harus tunduk kepada seluruh peraturan-perundangan yang berlaku. Pengabdian PNS ini didasarkan kepada kepentingan konstitusi sebagai cita-cita rakyat dalam bernegara yang telah dimanifestasikan kedalam UUD NRI 1945 dan UU dibawahnya yang juga merupakan penjabaran dari konstitusi.

Oleh sebab itu, PNS meng"abdi"kan dirinya untuk negara karena negara adalah wujud dari kehendak rakyat. Dengan kesadaran tersebut maka PNS secara tidak langsung juga merupakan abdi rakyat. Realita dalam alam pikir masyarakat Indonesia, PNS merupakan warga negara yang ditokohkan oleh masyarakat sekitar tempatnya bermukim sehingga kodisi ini sangat berpotensi untuk menggiring suara rakyat pada kepentingan golongan tertentu. Mengingat hal itu, sehingga netralitas PNS dalam PEMILU merupakan sorotan utama dalam kacamata reformasi birokrasi.

Melalui sikap patuh terhadap UU, PNS harus menjadi pelaksana kehendak rakyat yang dilayaninya sehingga tujuan kerja PNS adalah menyenangkan rakyat melalui program-program pemerintah yang diharapkan akan membawa bangsa ini menuju titik terdekat tujuan bersama sebagaimana amanat pembukaan UUD NRI 1945, dan sebaliknya tidak terjebak dalam politik praktis.

Hak konstitusi PNS

Hak konstitusi adalah hak dasar warga negara yang dilindungi oleh UUD NRI 1945. Konstitusi ini merupakan kontrak sosial antara rakyat dan negara supaya negara menjamin pelaksanaannya. Sebagai salah satu hak azasi, negara menjamin kebebasan warga negara sebagaimana dalam Pasal 28E yang berbunyi :

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Didalam Pasal 28J UUD NRI 1945, konstitusi mengatur bahwa :

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

PNS dianggap warga negara khusus karena sebagai abdi negara yang memiliki dua tuan yaitu Presiden sebagai Kepala Negara serta pemerintahan dan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan. PNS harus tunduk dan menundukkan diri kepada konstitusi dan UU yang berlaku dibawahnya.

Antara kritik dan kampanye

Apabila hak politik PNS dikekang, apakah include didalamnya sikap kritis dan mengkritisi?
Kritikan adalah hal yang sangat berbeda dengan kampanye.

Kampanye perorangan pada dasarnya adalah tindakan yang menunjukkan dukungan (simpati, empati) terhadap pasangan calon Kepala Daerah dengan cara menyatakannya secara langsung dan atau terbuka dihadapan masyarakat disertai pemaparan akan kelebihan calon tersebut dengan harapan bahwa tindakan tersebut akan mendapat perhatian serta dukungan dari masyarakat sehingga menjatuhkan keputusan untuk memilih calon yang diusung.

Sedangkan kritikan adalah bentuk kecaman atau tanggapan terhadap visi, misi, program, sikap, pendapat dan pernyataan dari calon tertentu dan atau pendukungnya guna mengingatkan perbedaan pandangan disertai alasan serta segala pertentangan yang mendasarinya dengan harapan untuk mendapat perhatian dari sang calon yang nantinya dapat digunakan sebagai disenting opinion untuk memperbaiki kekeliruan atau justru memperkuat posisi pasangan calon yang dikritik.

Kampanye adalah tindakan yang dilarang bagi PNS sesuai UU Pilpres 2008 sedangkan menyatakan pendapat termasuk kritikan dilindungi oleh UUD NRI 1945 Pasal 28E.

Akhirnya, menurut penulis "kampanye cenderung mendorong para simpatisan untuk bersikap fanatisme buta terhadap idolanya" sedangkan "kritikan cenderung membawa masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih".
Posisi PNS menjadi bertambah penting ketika terjadi Pilkada langsung, karena tak jarang PNS jadi rebutan para bakal calon Kepala Daerah. Katakanlah dengan perhitungan sederhana 1 PNS bisa menarik minimal 5 orang keluarga, maka jika di suatu daerah PNS nya sejumlah 4000-an misalnya, maka secara perhitungan kasar dapat meraup 20.000 suara dukungan.Cukup lumayanlah untuk bekal para balon menuju pentas sesungguhnya.

Dengan posisi yang cukup strategis tersebut, ternyata tidak serta merta memuluskan langkah PNS dalam menghadapi hingar bingar kemeriahan pesta pilkada, karena jika salah dalam menentukan sikap, maka resikonya sudah pasti bukan tanggungan penumpang. Ini adalah fakta yang terjadi karena sistem yang ada di negeri ini belum mampu memisahkan persoalan pada ranah politik dengan urusan di ranah karier dalam praktek tata pemerintahan di daerah.

Pilihan PNS dalam pilkada, selain dapat memiliki dampak positif juga dapat berdampak negatif bagi dirinya. Salah satu dampak positif yang mungkin diperoleh jika calonnya menang adalah adanya harapan karir atau jabatannya lebih mentereng kedepan. Sebaliknya, dampak burukpun dapat terjadi bagi PNS yang calonnya belum beruntung (kalah), kemungkinan perkembangan karir dan jabatannya bakal seret. Tidak sedikit fakta membuktikan bahwa PNS yang secara terang-terangan menjadi Tim Sukses dari calon yang kalah pilkada akhirnya terjebak dalam jurang "kematian" karir. Bagi PNS pendukung calon yang kalah, karena dianggap berseberangan dengan calon menang biasanya akan di'mentok'kan kariernya.

Lantas bagaimana sebaiknya PNS memposisikan diri dalam menyikapi pilkada langsung seperti ini. Suatu pilihan sulit sebetulnya, dan akan menjadi semakin sulit lagi manakala dari calon yang maju bertarung terdapat beberapa orang yang berasal dari incumbent yang notabene adalah atasan dari PNS bersangkutan. Apakah dengan keadaan begini harus bersikap netral dan tidak berpihak kepada calon manapun? Sikap seperti ini cukup ideal, tetapi dalam tataran praktis terkadang sulit diwujudkan. Selain itu dengan berposisi Netralpun, tak jarang bisa memunculkan spekulasi beragam. Karena dengan netral, otomatis terlihat diam atau tidak aktif dan kasarnya tak berkontribusi.Lebih parah lagi dengan DIAM PUN PUN DIANGGAP MEMIHAK. Serba sulit memang.

Kita berharap kedepan ada pemikiran serius dari pemerintah dalam menata sistem dan tata kelola pemerintahan di daerah, terutama berkaitan dengan regulasi yang dapat memproteksi keberadaan birokrat atau PNS dari pengaruh dan imbas persoalan politik, terutama terkait persoalan pasca pilkada di daerah. Memang sesuatu yang tidak semudah membalik telapak tangan karena disatu sisi harus berhadapan dengan kewenangan otonomi dari Kepala Daerah yang super prerogatif dalam menentukan segalanya di daerah. Kita tidak membayangkan dengan fakta yang terjadi pada pilkada di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya.

Diyakini puluhan ribu PNS yang harus menjadi korban politik dan harus siap menerima resiko terburuk pasca pelaksanaan pilkada, karena suka tidak suka, percaya ataupun tidak sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan yang tejadi di dunia politik sedikit banyak pasti menyerempet sampai ke persoalan karier seorang PNS. Semoga pemerintah pusat dapat membaca fenomena ini sebagai hal yang tak sepele, sehingga kedepan bakal ada terobosan inovatif yang akan menjawab "kegundahan hati" para PNS di negeri ini yang secara faktual sedang berada dalam posisi sulit menghadapi pilkada di daerah.

Oleh : Budi Usman , Kasubag Umum Kerjasama Korpri Kota Tangsel

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online