Jejak Caleg Bonek Berpijak

(by.kompas) (by.kompas)

detaktangsel.com - Mengamati jejak calon legislatif (caleg) berpijak menjadi miris. Selain tidak tidak mempunyai basis massa dan ideologi, juga kering kerontang modalnya. Tidak salah dan tidak berlebihan bila mereka pantas menyandang predikat bonek alias bondo nekat, seperti selama ini disandangkan pada fans tim Persebaya.

Kebanyakan caleg yang menyebar di daerah pemilihan (dapil) di Tanah Air  demikian adanya. Rata-rata mereka bermodal nekat untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Jujur saja, pantaskah sosok caleg bonek dipilih?

Sesungguhnya tidak bermaksud melecehkan, apalagi merendahkan kehadiran caleg-caleg bonek ini. Kekhawatiran itu muncul ketika di antara mereka terpilih jadi anggota dewan. Lalu, mereka bisa menjungkirbalikkan artikulasi kata dewan berubah menjadi ‘dewa’. Karena, anekdot semacam ini kerap membaur dalam pikiran kebanyakan masyarakat.

Seolah anggota dewan bak dewa. Bisa mengatur segalanya, juga menguasai segala-galanya. Pandangan ini menguat lantaran anggota dewan suka over acting di hadapan konstituennya.

Pandangan salah kaprah ini ‘membumi’ dalam benak dan perilaku rata-rata anggota dewan. Coba bayangkan, caleg incumbent misalnya, sering mengumbar kekuasaannya ketika menyosialisasikan dirinya mencalonkan kembali. Para konstituen atau calon pemilihnya, dicekoki pandangan-pandangan yang sifatnya bak angin surga.

Tidak seharusnya pesan-pesan politik yang disampaikan kepada konsitituen bernada sedemikian rupa. Sehingga muncul gambaran kursi dewan  adalah singgasana kekuasaan, di mata masyarakat awam. Justru artikulasi dewan itu disosialisasikan dengan benar. Bahwa anggota dewan merupakan kepanjangan tangan partai. Anggota dewan adalah mata, telinga, dan mulut partai.

Bila artikulasi keanggota dewan seperti ini, maka jelas bahwa anggota dewan  harus berani menyampaikan sejujur-jujurnya bahwa anggota dewan tidak layak lagi menyandang predikat wakil rakyat, melainkan wakil partai.

Proses pembodohan sering merajut pola pikir dan nalar masyarakat awam. Akibatnya, persepsi mayarakat awam  makin dari pemahaman yang hakiki secara logika berpikir. Terbukti, seberapa besar kontribusi anggota dewan mengakomodiri aspirasi masyarakat. Seberapa jauh kebijakan dewan yang membela kepentingan masyarakat.

Jutru kepentingan masyarakat diabaikan dan dimarjinalisasikan ketimbang kepentingan masyarat. Pertarungan politik di panggung dewan saat menggodok produk peraturan atau undang-undang cenderung kental dengan kepentingan partai. Bisa dibaca bahwa caleg hanya menjadikan konstituen sebagai kuda troya atau kuda tunggangan.

Lantas, bagaimana sikap dan pandangan caleg bonek bila terpilih dan duduk sebagai anggota dewan? Waduh....! Jelas analoginya adalah anggota dewan adalah ‘dewa’ di mata masyarakat. Segala cara  pasti dihalalkan demi untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan partai. Maklum biaya politik yang dikeluarkan untuk pencalegannya bersumber dari utang piutang, jual harta benda, dan mengadaikan sesuatu.

Tentu, caleg bonek bila terpilih, akan menjadikan keanggotaannya jabatan yang sakti mandraguna. Karena image anggota dewan adalah ‘dewa’ sangat kental dan tertanam dibenaknya. Nantinya, sikapnya tidak berbeda jauh atau beda-beda tipis dengan perilaku preman pasar atau terminal. Ketok sana, ketok sini. Entah menagih sendiri jatahnya atau perintah orang-orang suruhannya menagih.

Penyalahgunaan atau mengomersilisasikan jabatan pasti terjadi. Ini bukan menjadi rahasia umum lagi. Seperti halnya anggota dewan yang mau berakhir massa jabatannya saat ini. Mereka akui atau tidak, berpraktik kotor ketika hendak meloloskan produk politik  seperti  peraturan daerah atau mensahkan RAPBD jadi APBD . Misalnya, menerima personal fee dari mitra kerjanya.

Penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) caleg telah di depan, April mendatang. Kekhawatiran selalu menyelimuti aktor-aktor demokrasi, apakah hajatan nasional yang berlangsung lima tahun sekali ini berlangsung demokratis? Satu sisi caleg bonek sangat mengharapkan terpilih dengan segala cara. Sedangkan caleg berduit seenaknya menebarkan uang kepada calon pemilihnya.

Sungguh sangat kontradiktif pemandangan antara caleg bonek dan berduit. Sangat kontradiktif pula nantinya pemahaman teori maupun  praktik tentang filososi dan hakekat demokrasi di mata masyarakat. Tidak seharusnya keabu-abuan napas demokrasi mewarnai proses penyelenggaraan pemilu kalau masing-masing caleg dan partai politik memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sehingga masyarakat melek politik demokrasi. Inilah proses pembodohan yang sengaja dikondisikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sampai kapan pun.
Masyarakat dibiarkan ‘buta’ politik dan hukum-hukum politik. Makanya, suara tuhan diselewengkan menjadi suara rakyat menjadi jargon politik. Kalau suara Tuhan adalah suara rakyat, betapa hebat rakyat menjadi kepanjangan tangan Tuhan. (red)   

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online