Cukilan-Preambule

Cukilan-Preambule

SATU cita-cita yang luhur untuk menuliskan pengalaman dalam bentuk tulisan, apalagi cerita. Semula tidak terbayangkan ada tawaran mencetak karya tulisan saya. Eeh, tiba-tiba sahabat saya namanya Sang Pujangga Ghozali Mukti dan Ahmad Eko Nursanto, komandan detaktangsel.com melayangkan tawaran untuk bikin buku.


Saya langsung terima. Saya sanggupi menulis novel politik terkait penyelenggaraan Pemilu 2014. Lalu, kedua sahabat saya itu bertanya.
"Cerita apanya, soal Pemilu 2014."
"Fenomena kondisi kebatinan anak bangsa dalam mengapresiasi perilaku elit politik."
"Lho, kan udah tulisan mengenai hal itu, apalagi penulis berbobot dengan segudang gelar akademisi. Apa enggak salah mengetengahkan temanya."


"banyak penulis berbobot sajikan tema senapas setiap menjelang pesta demokrasi. Namun, saya coba sajikan dengan gaya tutur atau dialog, bukan opini. Bahkan, tinjauannya berdasarkan data lapangan."
"Akhirnya sahabat saya, Ghozali dan Eko, biasa saya panggil, sepakat."
"Oh ya, judulnya kira-kira apa, Kang."
"Enggak Nyoblos, Enggak Dosa Kok!"
"Enggak masalah judul ini. Entar dituduh provokatif."
"Tidaklah! Isu ini selalu berkembang di masyarakat umum. Ya seperti anekdot politik-lah."


Menyusul sahabat saya sepakat, saya merenung dan berpikir berangkat dari mana karya tulisan ini dimulai. Aaah, terlalu ngepop. Berpikir lagi, berpikir lagi. Aku jadi ingat kalau bikin berita, judul apa ya enak dibaca. Sama halnya dengan bikin lead. Judul ini penting.
Pada saat otak lagi ruwet, muncul inspirasi gres. Nah, ini pasti cocok dijadikan judul 'Jejak Politisi Berpijak'. Ya..... ya....ya !


Saya coba mengumpulkan pengalaman bergaul di lingkungan partai politik, aktivis kampus, dan sahabat maupun lingkungan keluarga. Ternyata daya ingatan saya masih menyimpan rekaman selama bergaul di kalangan politisi. Saya pernah kerja sambilan sebagai Wakil Kepala Humas Bidang Media massa di Sekretariat DPP Golkar, pengurus DPP KNPI tiga periode, dan sebagainya. Lalu, pengalaman jurnalistik lumayan panjang (1982 –sekarang). Diawali bekerja di koran Merdeka milik BM Diah, Media Karya, Suara Merdeka, Sinar Pagi, Tabloid Dinami, Berita Kota, dan Berita Pagi di Palembang. Kirim tulisan ke koran Sentral dan lain-lain. Sekarang ikut bangun media online detaktangsel.com.


Bagi saya kemarin, hari ini, dan esok tiada perbedaan yang menyolok sama sekali. Perubahan yang terjadi hanya pada tingkatan elit politik, terutama di jajaran kabinet, setiap usai pesta demokrasi berakhir.
Secara signifikan nyaris tidak ada perubahan. Rakyat hanya dijadikan kuda troya (baca: tunggangan) oleh elit politik untuk mendulang perolehan suara dalam upaya menggapai singgsana kekuasaan.


Sangat tidak mengherankan akhirnya sebagian rakyat yang cerdas dan kritis bersama kelompok kritis lainnya melakukan 'perlawanan' untuk tidak menggunakan hak politiknya yakni menyalurkan aspirasinya ke elit politik (baca: caleg) dan partai politik mana saat Pemilu Presiden. Maka, tidak perlu heran bila lahir joke-joke anekdot-anekdot politik di tengah masyarakat. Misalnya, wani bayar piro (berani bayar berapa), enggak duitnya enggak aku coblos, dan sebagainya.


Sikap sebagian rakyat menjadi golput karena secara konsekuen logis akibat perilaku elit politik yang suka obral dan tidak memenuhi janji politik usai berkuasa. Juga cenderung caleg yang tampil rata-rata kalangan berduit Akhirnya calon pemilih jadi kena 'virus' sebagai pemilih bayaran.
Itulah alasan saya memberi penjudulan karya tulis ini bernama Enggak Nyoblos, Enggak Dosa Kok. Sebuah pandangan yang cerdas,tapi inkonstitusioal. Ekstremnya, kelompok kritis ini mempertahankan sikapnya semata-mata penjelmaan aksi protes atas kekecewaannya terhadap perilaku elit politik.


Siapapun tidak memberani membantah kondisi sosial politik, ekonomi, dan hukum nasional makin carut marut menjelang hajatan nasional lima tahunan itu. Banyak elit politik maupun birokrasi dijebloskan kandang besi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada anggota dewan, kepala daerah, dan elit partai politik.
Itulah sumber masalah pemicu sebagian rakyat menjadi golput. Ya karena enggak nyoblos enggak dosa, akhirnya rakyat ogah-ogahan menyalurkan aspirasi politik di balik bilik pemunggutan suara.


Kalangan politisi atau elit partai politik juga senantiasa mengeksplotir konstituennya. Sehingga terjadi pengotak-kotakan ideologi di tengah kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Seolah-olah, Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden milik Partai Demokrat. Juga demikian sikap partai politik yang lain terhadap Presiden terpilih mendatang. Padahal siapapun yang menjadi Kepala Negara atau Presiden bukan lagi milik kelompok maupun golongan. Sang pemimpin adalah milik rakyat tanpa kecuali.

 

Dapat dibayangkan kondisi sosial politik, ekonomi, dan hukum yang sedemikian rupa bila tetap dipelihara dan dijaga, apa jadinya bangsa dan negeri kita ke depan ?
Nah kalau pun menyebut sosok petinggi partai politik bukan berarti untuk mengguliti. Namun, adalah sebuah pertarungan hati tentang hakikat kebenaran yang tidak absolut karena kebenaran hanya milik Allah.
Kehadiran buku dengan judul agak kontroversi ini mengandung maksud agar elit politik, partai politik, dan elit birokrasi konsisten seta komitmen membangun karakter bangsa. Untuk itu, mereka tidak menunjukkan perilaku buruk.


Dus, apa buku novel atau sebutan lain enggak ada urusan. Terserah pembaca! Buku ini diterbitkan semata-mata untuk memberikan gambaran, paling tidak, menyadarkan kelompok kritis yang menjadi golput agar kembali ke khittah, menjadi warga negara yang taat konstitusi. Kiranya saya mohon maaf dan dimaklumi bila ada bagian yang menyerempet nama, garis keturunan maupun golongan. Sekali lagi, saya mohon dibukakan pintu maaf selebar-lebarnya. Karena ada perdebatan yang tidak pernah tuntas dibahas, sehingga melahirkan asumsi-asumsi untuk mencari kebenarannya.


Terima kasih para sahabat yang membantu terbitnya Jejak Politisi Berpijak. Moga kehadiran buku ini tidak menyinggung berbagai pihak secara pribadi, kelompok, dan golongan (baca: partai politik) mana pun. Sebaliknya kehadiran novel ini diharapkan menjadi bacaan menarik dan perlu. (deddy triyono)

More in this category:

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online