Print this page

Semoga Lekas Sadar Hatimu, Sayang......

Semoga Lekas Sadar Hatimu, Sayang......

detaktangsel.com- CELOTEH, Ziarah ke makam orangtua bagi Penk'i suatu keharusan. Apalagi tradisi ini tidak pernah dilakukan sejak empat tahun berlalu.

Makam kedua orangtua Penk'i di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tembok, Surabaya. Kebiasaan Penk'i abis ziarah, menghabiskan waktu luang selama di kampung halaman menemui teman SMA Negeri 7. Cerita ngalor-ngidul.

Empat tahun sudah, Penk'i tidak pernah menginjak kaki di Kota Pahlawan. Seakan kerinduan tentang kampung halaman sirna. Kerinduan terhadap sesorang pun musnah.

Suasana kebatinan Penk'i terusik. Niat batin, rindu kampung halaman menguat. Mungkin juga rindu pada hal-hal lain yang ada di kampung halamannya. Rindu makanan khas Surabaya. Rindu seseorang mungkin, barangkali.

Pastinya, kini batin Penk'i menggeliat. Bahkan, menggerus sanubarinya ingin cepat pulang.

Rembulan bersembunyi di balik awan pun sempat tersenyum menyaksikan perilaku Penk'i. Sayang, rembulan tidak bisa ngomong. Kalau bisa ngomong, rembulan pasti membekali nasihat sekaligus obat penawar rindu.

Penk'i mutung enggak mau injakkan kaki ke kampung halaman hanya perkara sepele, tapi mendalam. Batinnya terluka, hatinya tersayat. Bukan tidak sadar, justeru Penk'i sangat menyadari kondisi obyektif yang dihadapi.

Antara irasional dan rasional jadi senyawa. Jiwanya pun melayang tanpa reserve. Maka, tidak karuan lagi. Penk'i tidak memikirkan risiko apapun. Malah, Penk'i sempat bersumpah atas nama Allah, Rasulullah, dan Alquran, cintanya tidak palsu.

Ternyata arti sumpah itu tidak dimaknai secara batiniah oleh salah seorang teman semasa satu kelas di SMA.

"Oh Gusti Allah!" seru Penk'i mengeluh setiap ingat seseorang di Surabaya.

Meski suka blak-blakan, Penk'i tertutup dan tidak mau cerita soal suasana kebatinannya. Ia cenderung curhat ke Allah ketimbang sahabat-sahabatnya.

"Bilakah Allah merindhoi niat suci hamba untuk memiliki Kitit. Kalau Allah memang tidak berkenan, musnah perasaan cinta dan rindu hamba terhadap Kitit. Namun, Allah masih memberkahi hati hamba untuk mencintai, menyayangi, dan merindukannya."

"Moga Allah juga berkenan memberkahi hati Kitit sebagaimana Allah memberkahi hati hamba. Moga meridhoi Kitit tetap merindukan hamba."

Keluhan ini selalu membalut mata batin Penk'i. Seiring tarikan napas, Penk'i selalu teringat Kitit. Terkadang saat menginggau pun, Penk'i memanggil nama Kitit.

Surabaya penuh kenangan manis dan getir bagi Penk'i. Suatu saat, beberapa bulan yang lalu, Penk'i sempat meneteskan air mata di depan sahabat karibnya, Amsor dan Nifira, ihwal ihwal beban batinya. Secara jujur, Penk'i kadung proklamirkan sumpah atas nama Allah, Rasulullah, dan Alquran untuk menyatakan perasaan sama Kitit.

"Demi Allah, Rasulullah, dan Alquran, Sor, Nif. Aku benar-bena masih mencintai, menyayangi sekaligus mendambakannya," tutur Penk'i mengawali cerita.

Amsor dan Nifira hanya menjadi pendengar setia. Mereka tidak berusaha mengintegorasi dan mewawancarai Penk'i. Mereka tidak punya niat untuk mengorek rahasia di balik batin Penk'i. Karena mereka memahami suasana kebatinan Penk'i sedang kasmaran.

Sejenak, beberapa menit diam. Kamar di sebuah hotel, tempat menginap dan pertemuan hening. Hanya suara AC dan televisi terdengar sayup-sayup.

"Ok, terserah kamu berdua mengapresiasi perasaan dan suasana kebatinanku. Kamu berdua bebas menilaiku," kata Penk'i.

"Aku hanya doamu. Semoga Allah berkenan menyadarkan hati Kitit memahami dan memaknai perasaanku."

Tepat peringatan HUT Ke-69 Kemerdekaan RI, perasaan Penk'i ternyata belum merdeka. Masih terjajah perasaan cinta dan sayang terhadap Kitit.

Sementara perasaan Kitit, entah bagaimana. Apakah senapas dan sealiran darah dengan suasana kebatinan Penk'i. Rembulan pun tetap tersenyum. Namun, sinarnya tidak mampu menghangatkan batin Penk'i.

Gelisah, galau, dan kacau-balau. Dicoba dihubungi ratusan kali, bahkan lebih, tidak pernah dibalas. Kontan batin pun tidak terasa.

"Semoga lekas sadar hatimu, sayang!" seru Penk'i dalam batin sambil berbaring menatap langit. Namun, mimpi yang hendak diraih tidak pernah nyata.