Print this page

Gombalisasi, Sesatkan Pikiran

Gombalisasi, Sesatkan Pikiran

detak.co.id - SEKETIKA, GOMBALISASI menguat sebagaimana tersirat dan tersurat melalui pamflet, spanduk maupun baliho setiap caleg yang ditempelkan setiap lokasi. Ada di pohon, tembok, tiang listrik, dan di sudut-sudut jalan. Selain bikin semrawut tata pemasangannya, juga melanggar aturan KPU.

Pemasangan alat kampanye yang menempilkan gambar caleg hanya di zone-zone tertentu. Tidak demikian dalam praktiknya. Justru di setiap lorong, gang, kampung, dan kawasan padat penduduk dipenuhi gambar caleg

"Asuransi gratis!" demikian bunyi yang tertulis di pamflet caleg dari Partai Naluri. Ada pula tertera; 'saya anak Pak Jenderal. Pilihlah saya." Selain itu, janji-janji manis bertebaran bak sekelompok lalat yang mengeroyok bangkai tikus.

"Bingung enggak nak Arman baca pesan politik caleg-caleg tersebut." "Inggih, Pak De."

"Pemilu pertama enggak begini. Justru caleg enggak keluarin biaya besar. Lha wong ada partai nawari kursi dewan gratis."

"Nak Arman pilih caleg asal partai mana."

"Belum ada pilihan Pak De."

"Sama, nak. Bingung, karena kebanyakan umbar janji alias gombalisasi. Malah, pesan politik yang disampaikan caleg, baik yang tertera di baliho, spanduk maupun lisan sesatkan pikiran."


Analis dan asumsi Pak De Darmo ada benarnya. Isi pesan politik semua caleg senapas. Mengindikasikan rayuan yang menjurus meracuni pemikiran rakyat. Tak seorang pun caleg berani berpesan jujur, ril, dan obyektif.

"Iya Pak De. Emang terjadi proses gombalisasi dan pembodohan yang dilakukan caleg. Ada kesan seperti pembunuhan hati nurani, Pak De."

"He, he, he.......Bisa jadi begitu nak Arman. Pastinya, rakyat galau dan dilematis. Nyoblos takut salah pilih. Gak nyoblos inkonstitusional."

"Inggih, Pak De!"

Kondisi kebatinan Pak De Darmo jelas menyiratkan keresahan, kegalauan, dan di persimpangan jalan. Kemungkinan besar kondisi kebatinan seperti Pak De Darmo membalut hati nurani jutaan calon pemilih yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini.

Belenggu ini nyaris dialami anak bangsa lima tahun sekali, menjelang pesta demokrasi tingkat nasional atau tingkat lokal (baca: pilkada). Betapa tidak, gerakan untuk mengeksploitir pasti berlangsung di tengah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

"Pak De, nyuwun pamit."

"Monggo nak Arman. Abisi kopinya."

Sambil menengguk kopi, aku lihat Pak De Darmo asyik memandiin ayam Bangkok kesayangannya.

Konon, ayam yang diberi nama Rombeng ini udah menang 10 kali.

Selain jual ayam Bangkok hasil ternakannya, Pak De Darmo nyambi calo tanah dan rumah. Lumayan hasilnya bias untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Bu dalam salam Pak De Darmo."

"Waalaikum salam. Awakmu soko dolan nang omahe Pak De mu."

"Piye kabare. Apik-apek toh Pak De mu."

"Inggih."

Antara Pak De Darmo dan keluarga tidak hubungan darah sama sekali. Semasa muda, Pak De Darmo kasmaran sama ibu. Mereka gagal mewujudkan asa sebagai pasangan suami isteri gara-gara pemuda bernama Abdul Satar lebih dahulu meminangnya. Kendati demikian, Pak De Darmo tidak memtuskan tali persaudaraan. Malah, ibu dianggap adik oleh Pak De Darmo.

Bahkan, keluarga Pak De Darmo mengasuhku seperti anak kandung sendiri setelah bapak meninggal dunia. Karenanya, antara keluagaku dan keluarga Pak De Darmo punya ikatan emosional. Tidak ada jarak dan sekat.

"Ono opo toh Pak De mu."

"Pak De cuma curhat soal perilaku caleg, bu. Bingung, galau, dan dilematis mau jatuhkan pilihan."

"Pak De takut salah pilih. Soale janji-janji ne manis kabeh. Pak De enggak mau terperangkap jeratan dan jebakan caleg."

"Ngono toh le. Ibu paham jalan pikiran Pak De mu. Pak De mu enggak gelem hanyut dinamika politik di Orde Refornasi ini. Kabeh prosese serba instan."

"Maksudnya gimana bu, ora, mudeng."

"Sebagian caleg maju tanpa melalui proses kaderisasi. Duwe duek akeh nyalon. Mengkoh tuku suoro ne rakyat. Dadi wakil rakyat. Terus ngelali no janji-janji ne. Pak De mu enggak seneng."

Aku maklumi ibu sampai bisa menerjemahkah pemikiran Pak De. Ibu juga paham watak Pak De. Kalo udah bingung dan galau apalagi dilematis, Pak De Darmo memilih tidur atau mandiin dan jemur ayam ketimbang datang ke bilik suara, ikut pemilu.

Gerakan perlawanan hati nurani Pak De Darmo terhadap praktik politik busuk sangat kuat. Bak aktivis kampus, Pak De Darmo ogah-ogahan kompromi dengan antek-antek politisi busuk.

"Harga diri ne Pak De mu tinggi dan keras hati ne. Tapi apik karo wong sing lurus, jujur."

"Inggih."

Di zaman yang serba edan ini sosok seperti Pak De Karwo langka. Eyang Ronggo Warsito pun sempat berpesan di zaman yang edan ini kalo enggak edan ora keduman. Tetapi lebih baik jadi wong sing eling lan waspado.

Sosok seperti inilah pantas dijadikan idola. Seperti halnya Ahmadidjad, mantan presiden negara sebelah. Di rumah pribadinya tidak ada karpet merah digelar di lantai. Isi rumahnya pun tidak berubah seperti sedia kala sebelum Ahmadidjad pimpin negeri yang mayoritas kelompok Syi'ah itu.

Ada pula sosok yang patut ditauladani. Namanya Mayjen TNI Sumadi. Saking jujurnya prajurit sejati ini selalu mematikan lampu dan diganti lilin bila ada tamu datang kediamannya untuk urusan pribadi.

"Ada perlu apa ya. Urusan dinas atau pribadi."

"Pribadi Jenderal."

"Silakan masuk."

Begitu duduk tamunya, bersamaan itu pula penerangan listrik di ruang tamu dimatikan.

"Jenderal kok kita ngobrol gelap-gelapan. Kan kita bukan lagi rapat gelap."

"Listrik ini yang bayar negara. Karena ini urusan pribadi, maka enggak perlu penerangan. Saya enggak mau dituduh korup, gunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi."

Seharusnya anggota dewan atau semua pejabat pemerintah mencontoh Pak De Darmo, Eyang Ronggo Warsito, dan Jenderal Sumadi. Jujur, rendah diri, dan takut bersentuhan dengan hal-hal yang berbau haram, korupsi sekaligus mengehaki hak pihak lain.

"Alangkah indah dan damai bila negeri ini dihuni sosok seperti mereka."

Sesungguhnya Negeri Surgawi ini kalo tidak didominasi kaum kurawa dan dipimpin Sengkuni pasti sejuk. Apalagi caleg dari partai politik mana pun ngombral janji dan program gombalisasi. Maka, sesatlah pikiran kalangan masyarakat pinggiran.

Tidak heran orientasi kebanyakan calon pemilih untuk menggunakan hak politiknya sangat tergantung bayaran. Nilai demokrasi hanya ditukar lembaran 50 ribu rupiah. Tidak heran pula kebanyakan caleg blusukan masuk kampung- kampung. Dirikan posko dan kumpulkan warga.

"Sad, jangan lupa entar ba'dah Isya kumpulin teman-teman. Ada caleg mau bagi-bagi duit," teriak Maman Buluk, tetanggaku.

"Di rumah siapa?."

"Ustadz Giman."

Aku geleng-geleng kepala dengarkan dialog mereka. Dan, ngebatin.

"Mereka kok mudah dieksploitir, ya."

"Murah banget harga demokrasi di negeri ini."