Miskin, Penderita Kusta Ditelantarkan RS

ilustrasi ilustrasi

BOGOR--Meski telah resmi diberlakukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di beberapa daerah masih banyak mengalami hambatan. Beberapa pasien harus ditolak rumah sakit karena belum terdaftar sebagai anggota BPJS.

Perlakuan diskriminatif dialami oleh JunaIdi (16), penderita kusta asal Kampung Penggeleseran, Desa Banyuwangi, Kabupaten Bogor. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini ditolak saat dirujuk ke Rumah Sakit (RS) Marzoeki Mahdi dan RS Karya Bhakti, Kota Bogor. Sampai akhirnya, Junaedi dirawat ke RSUD Ciawi.

”Saya kecewa sekali, karena anak saya tidak bisa dirawat di RS Marzoeki Mahdi dan Karya Bhakti. Padahal, kondisi penyakit anak saya sudah sangat parah,” ujar Eci, ibu kandung Junaedi, Minggu (5/1).

Eci menuding hanya karena bermodalkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), sehingga anaknya ditolak pihak RS. “Saya cuma pakai SKTM karena belum terdaftar sebagai BPJS. Mungkin karena itu kali, jadi ditolak RS,” kata Eci.

Kejadian itu, tidak bisa dilupakan oleh Eci, sebab untuk menuju RS di Kota Bogor dibutuhkan jarak hingga puluhan kilometer. “Dari rumah menuju jalan raya Cigudeg saja jaraknya 20 kilometer. Setelah sampai di di Kota Bogor, anak saya ditolak RS dan sempat telantar selama setengah hari,” kata Eci yang mengaku anaknya menderita kusta sejak tiga tahun lalu.

Tuti Yuli, pekerja sosial yang menangani Junaedi mengatakan, sebelum ditolak RS Marzoeki Mahdi dan Karya Bhakti, Junaedi juga sempat ditolak oleh Puskesmas Cigudeg. Penolakan tersebut membuat ia perihatin. Pasalnya, kondisi penyakit Junaedi sudah sangat parah sehingga membutuhkan penanganan cepat dari tim medis.

Alasan penolakan, kata dia, pihak RS tak memiliki ruang isolasi khusus pasien kusta. “Saya rasa itu alasan secara halus saja. Kalau betul-betul punya rasa kemanusiaan pasien diterima dulu, jangan ditelantarkan. Apalagi melihat kondisi beberapa anggota tubuhnya sudah mengeluarkan bau akibat luka yang sudah membusuk,” beber warga Kota Bogor ini.

Setelah telantar beberapa jam dan berkat bantuan dari tim relawan, akhirnya Junaedi ditangani dan diberi fasilitas di RSUD Ciawi. “Setelah bersusah payah kesana kemari, akhirnya Junaedi ditangani dan diberi fasilitas. Meski di ruang kelas III, yang penting mendapat penanganan RS. Jangan karena pakai SKTM atau Jamkesda, maen tolak saja. Jamkesda atau yang lainnya kan bisa menyusul,” kata dia.

Tuti berharap, ke depan RS di Bogor dapat menerima pasien yang memang sangat membutuhkan penanganan, meski tidak memiliki Jamkesda atau pun belum terdaftar sebagai anggota BPJS. Selain itu, pihaknya juga meminta kepada Dinas Kesehatan baik Kota/Kabupaten Bogor agar turut membantu dalam menangani pasien yang kerap mendapat perlakuan diskriminatif, seperti kasus yang dialami Junaedi.

Junaedi kini sudah menjalani rawat inap di ruang Kelas III, Teratai sejak Jumat (3/1) malam lalu, setelah sebelumnya ditolak di dua RS di Kota Bogor. Kondisi penyakitnya terus bertambah parah, sehingga harus mendapat penanganan secara intensif dari ahli medis. “Kalau dikasih rujukan ke RS di Jakarta, itu lebih bagus. Tapi diharapkan juga ada yang membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik dari pemda maupun donatur, mengingat Junaedi berasal dari keluarga tidak mampu,” pungkas Tuti.

Sementara itu, Sekda Kota Bogor Ade Syarif Hidayat mengingatkan kepada seluruh RS di Kota Bogor untuk tidak menolak pasien yang sudah terdaftar sebagai BPJS. Karena sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba.

“Jika memang ada pihak RS yang sudah bekerjasama namun menolak pasien, maka pihak RS itu akan diberi peringatan,” tegasnya.

Agar program pemerintah pusat berjalan lancar, pihaknya meminta Dinas Kesehatan Kota Bogor gencar melakukan sosialisasi terkait masalah program BPJS ini. “Kepala Dinas Kesehatan harus menjalin komunikasi lebih intens dengan seluruh rumah sakit terkait program BPJS agar semuanya bersinergi dalam merealisasikan program BPJS,” tandasnya. (rul)

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online