Ia mengatakan, pemilihan bupati dan wali kota agar dilaksanakan di DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada 541 pemilihan bupati/wali kota yang memboroskan anggaran dan membuat rakyat lelah.
Tak hanya itu, semakin banyaknya interaksi demokrasi, semakin tinggi gesekan yang terjadi. Oleh karenanya, di negeri-negeri yang maju, tidak ada pilkada dilakukan terus menerus.
“Semua harus diantisipasi dengan pemikiran bahwa pilkada langsung jangan terlalu banyak, karena gesekan akan memicu banyaknya koflik sosial,” imbuhnya.
Walupun, memang selama ini ada konflik tapi masih rendah, hanya sebatas depat di MK, dibandingkan di luar Jawa, yang terjadi sampai bakar-bakaran. “Saya melihat lebih baik dipangkas pilkada yang ada, untuk memperkecil kemungkinan terjadi konfigurasi politik,” imbuhnya.
Menurutnya, pemerintah pernah melakukan usulan kepada DPR RI mengenai hal tersebut, dimana pilkada langsung hanya dilakukan di provinsi saja. Pasalnya, jika itu dilakukan, konsentrasi tidak terpecah, sehingga lebih panjang waktunya memikirkan kesejahteraan dibandingkan memikirkan pilkada.
Sejauh ini, kata dia draf perubahan itu sudah diberikan ke DPR RI, namun memang belum dibahas karena mungkin ada hal-hal lain yang harus dilengkapi.
“Saya berharap, konsep tersebut bisa secepatnya di bahas, dan nantinya diberlakukan,” tambahnya.
Dengan pemilihan bupati dan wali kota diadakan di DPRD, lanjut Ahmad, gubernur akan lebih berwibawa. Tidak ada lagi bupati dan wali kota yang akan mengabaikan permintaan gubernur.
Tak hanya itu, jika usul itu diterima, peran gubernur tetap tidak akan lancang terhadap pemerintah pusat.
“Hierarki pemerintahan harus dipertahankan dimana tidak boleh terjadi disintegrasi,” tandasnya. (rul)